saya mencoba belajar mereview novel mba Dian Nafi yang sekarang pasti sedang diperjalanan menjeput impiannya dari Demak ke Jakarta. inggih mba??
mumpung masih hangat, novel ini baru saya baca.
Mayasmara karangan Dian Nafi dan Artgusfaizal. buat saya sampulnya terlalu sederhana untuk novel yang memiliki kalimat-kalimat seindah itu. Biru, blek tanpa ada efek apapun. mungkin untuk memberi kesan penegasan atas sesuatu.
masuk ke dalam isi novel, saya dibuat tercengang dengan paragraf-paragraf kalimat mempesona yang panjang (saya mengatakannya bait-bait nyastra). meski rada berbelit hingga saya harus mengulang beberapa kali untuk sebuah paragraf, karena ketidakmengertian saya. Awalnya saya pikir tidak akan ada pesan islami di dalamnya, ternyata cukup kental dengan menghadirkan adegan umrah dan thawaf.
penjabaran cerita porsinya lebih sedikit dari deskripsi kegalauan si tokoh yang dituliskan dalam kalimat-kalimat nyastra itu. mungkin karena terlalu lama saya tidak pernah lagi membaca buku yang sedikit berat. jadi lebih menyukai penjabaran cerita yang porsinya lebih besar.
Karena novel ini ditulis oleh dua orang, betul begitu?? ketika membacanya ada gaya bahasa yang berubah. dari yang tadinya bahasa formal menjadi lebih santai.
saya terganggu dengan pengutipan lagu-lagu yang berbahasa inggris yang dimasukan full lyrik, selain tidak mengerti karena bahasa inggris buat saya tidak memberikan apa-apa, selain mempertebal halaman. (maaf...) tapi kutipan-kutipan orang-orang bijak yang ada di bab TITLE saya suka meski pengemasannya sedikit monoton juga.
Novel ini peralihan point of viewnya sedikit membingungkan, Mayana, Nero dan narator. ada pada paragraf yang sama dari si narator tiba-tiba jadi Nero. ketika perbincangan Mayana dan Nero pun sedikit membingungkan, mungkin jika jenis fontnya dibedakan akan lebih cepet ngerti.
Jenis paragraf yang digunakan rata kiri dan kanan, menjadikan novel ini memiliki penampilan yang berbeda. Typo salah ketika saya temukan beberapa, hampir banyak.
Saya tidak terlalu faham dengan Endingnya, memang dibuat terbuka atau sebenarnya jelas namun tersamar.
Tapi secara keseluruhan, saya menyukai tema yang diangkat. dimana seseorang bisa jatuh cinta lewat dunia maya, memang debarannya jauh lebih dahsyat dari yang berjumpa dikehidupan nyata. meski ketika bertemu atau kopi darat---istilah zaman dulu untuk mereka yang suka ngobrol di interkom, sebelum adanya internet --- sedikit saja yang berhasil.
Namun pendalaman makna CINTA nya luar biasa dalam kalimat yang indah ini, memperlihatkan bahwa banyak referensi yag tidak singkat dan sederhana oleh mba Dian Nafi dan rekannya untuk menghadirkan novel ini.
Jumat, 14 Desember 2012
Kamis, 13 Desember 2012
Mengemas kecewa
Jika baru saja mendapati bahwa diri saya gagal, gagal dan gagal lagi saya mudah sekali terpuruk. dan bangkitnya luar biasa susah. Ada kata pamungkas dari ibu saya, yang kemudian selalu bisa membangunkan saya meski perlahan. "makanya jangan pernah menggantungkan harapan sedikitpun sama yang namanya manusia!" kata-kata ibu saya selalu mendengung setiap kali saya bertemu kegagalan, terasa pedas dan 'nampol' memang tapi itu cukup bisa mencubit kedalaman batin saya.
Memang tidak terbantah Allah sanga Maha Cinta lah yang seharusnya kita jadiakan untuk menggantungkan segala asa, angan, mimpi bahkan igauan. tak ada lagi hanya Dia. tapi saya selalu memohon maaf kepada-Nya untuk menikmati rasa kecewa, yang wajar dan manusiawi. untuk kemudian meminta bantuannya dalam mengemas kecewa dan menyimpannya di rak sepatu terbawah sebagai tanda 'kegagalan' ini bukanlah apa-apa. kegagalan ini tidak akan mampu menghancurkan saya.
Kamis. 13 Desember 2012
Memang tidak terbantah Allah sanga Maha Cinta lah yang seharusnya kita jadiakan untuk menggantungkan segala asa, angan, mimpi bahkan igauan. tak ada lagi hanya Dia. tapi saya selalu memohon maaf kepada-Nya untuk menikmati rasa kecewa, yang wajar dan manusiawi. untuk kemudian meminta bantuannya dalam mengemas kecewa dan menyimpannya di rak sepatu terbawah sebagai tanda 'kegagalan' ini bukanlah apa-apa. kegagalan ini tidak akan mampu menghancurkan saya.
Kamis. 13 Desember 2012
Minggu, 12 Agustus 2012
Buka Bareng, Kehujanan Bareng
Hari ke 23 Ramadhan TK tempat anak saya sekolah mengadakan buka bersama, padahal anak-anaknya enggak shaum, emak-emaknya aja yang rempong.
Buka shaum dimanapun tetap sama, selayaknya makan dimanapun tetap sama menggunakan tangan masuk ke mulut. asal sehat pasti nikmat. Tetapi selalu ada kenikmatan yang sulit diurai ketika azan berkumandang, anak-anak dan ibu-ibu berkrasak krusuk (buka kresek es buah) dan slurup. puluhan desahan achhh...melepaskan dahaga, dilangit-langit sekolah terkumpul do'a-do'a pengantar buka.
Teras sekolah tak beratap dijadikan tempat untuk buka shaum, dalam penantian detik-detik berbuka byurrr....turun hujan. semua yang hadir kocar kacir, menyelamatkan diri sendiri. (itu baru turun hujan, apalagi turun meteor?? itu baru di dunia, apalagi diakherat nanti. ibu tidak bisa menolong anaknya, anak tidak bisa menolong ibunya. semua sibuk dengan urusan masing-masing)
Minggu, 05 Agustus 2012
Menjadi Ibu Belajar Sepanjang Jalan
Menjadi
ibu adalah karier tanpa batas pensiun, “everlasting
career” selamanya mereka adalah anak-anak kita, dan selamanya kita adalah
ibu bagi mereka. Tanpa persiapan sekalipun setiap wanita hamil yang kemudian
melahirkan harus terjun bebas, dituntut untuk bisa menjadi seorang ibu, apa
yang membuat kita bisa mengurus anak pertama tanpa pengalaman? tentu saja
naluri. Tapi ternyata kita tidak hanya membutuhkan naluri saja tapi juga ilmu,
ilmu bagaimana menahan sabar, ilmu bagaimana menundukan ego kita demi
kesejahtraan mereka, ilmu bagaimana menjadi ibu yang akan mereka kenang sebagai
ibu terbaik yang mereka miliki kelak.
“Tidak ada yang mengenal seorang
anak selain ibunya sendiri” entah kalimat itu saya baca di mana dan akhirnya membuat
saya tertegun “sudahkah saya mengenal anak-anak saya secara keseluruhan,
tentang keinginannya tantang kemarahannya? Sudahkah saya mengenal sisi terdalam
putra putri saya? Ataukah saya hanya mengenal cangkang mereka saja?” saya tatap
satu persatu anak-anak saya yang sedang terlelap dan saya bisikan “sungguh
bunda mencintai kalian luar dan dalam”. Terbayang sudah keributan-keributan
yang sering terjadi diantara saya dan anak-anak, tentang waktu mandi yang
seringkali mereka tolak karena masih asyik bermain. Tentang tawar menawar waktu
belajar dan tentang banyak hal kecil yang sering jadi bahan keributan.
Bagaimana jika pengalaman itulah yang menempel di memori mereka, yang akan
menguntit mereka hingga dewasa. Hingga anak-anak akan mengingat saya sebagai
ibu yang otoriter, nauzubillah.
Dengan penuh keyakinan saya tanamkan
dalam hati, masih banyak waktu untuk merubah diri, untuk memperbaiki diri,
untuk belajar dari pengalaman dan dari orang-orang yang berilmu. Jangan hanya
mengajak anak untuk belajar, tapi saya juga harus banyak belajar. Jangan hanya
menyemangati anak-anak untuk maju, tapi saya juga harus mau maju bersama
mereka. lagi-lagi ilmu menjadi ibu dibutuhkan dalam hal ini.
Dalam perenungan singkat ini yang
saya impikan adalah anak-anak yang selalu berada di jalur yang benar, meskipun
mereka menemukan kondisi yang berbeda dengan kondisi yang berada di dalam rumah
mereka. Bagaimana mereka tetap bisa menjaga shalat mereka meskipun tidak ada
yang mengingatkan, bagaimana mereka tetap bicara yang baik meskipun saya tidak
ada dihadapannya, bagaimana saya bisa menjadi sahabat dengan telinga yang
selalu setia mendengar kisah-kisah seru hidupnya. Bagaimana saya selalu
dijadikan mentor tempat mereka bertanya tentang apapun masalah mereka. Semoga
Allah SWT memperkenankan.
Anak bisa menjadi anugerah bahkan
bisa menjadi ujian. Seorang anak penghafal Al-qur’an bisa menghadiahkan baju
kemulian bagi orangtuanya di surga kelak. Demikian juga sebaliknya, orang tua
yang sholeh bisa saja masuk neraka jika kesaksian anak mereka menyatakan bahwa
sang anak tidak pernah diajarkan tentang agama, sungguh malu bukan kita di
hadapan Allah?. Maka memberikan yang terbaik sepenuh kemampuan kita adalah yang
utama, berusaha menghidangkan makanan terbaik untuk anak-anak kita, berusaha
menyekolahkan anak-anak di sekolah terbaik berdasarkan kemampuan kita yang
sesuai dengan visi misi hidup kita. Untuk kesemuanya itu kita harus
mengorbankan banyak materi, sungguh TIDAK APA-APA. Semuanya kita lakukan tidak
lebih hanya agar anak-anak kita jasmani dan ruhaninya bisa bermanfaat bagi
banyak orang, dan mereka beriman dengan cara yang benar. Juga agar kita kelak
jika dipanggil oleh Yanga Maha Kuasa, kita sanggup berdiri di atas kaki kita
dengan percaya diri, bahwa kita sudah merawat dan mendidik anak-anak kita yang
tidak lain adalah amanah dari-Nya dengan kemampuan terbaik kita, dengan usaha
maksimal.
Kata
Khalil Gibran “anakmu bukan anakmu, anakmu adalah milik zamannya”. Bisa “iya”
bisa “tidak”. Saya selalu diingatkan oleh ibu saya bahwa jangan terlalu keras
dalam mendidik anak, “toh dulu juga kamu dibiarkan tanpa diajarkan tetap aja
bisa baca, bisa ngaji dan lain sebagainya”. Ibu saya lupa dulu saya bisa baca
kelas 2 SD dan bisa ngaji dengan lancar kelas 4 SD. Anak zaman sekarang, umur 5
tahun atau kelas TK B hampir rata-rata sudah bisa baca, diajarkan mengaji sudah
sejak usia 4 atau 5 tahun. Kenapa harus lebih cepat dari zaman dulu? Karena kini
gempuran informasi dan teknologi sudah semakin mengganas. Manfaatnya bisa kita
rasakan tetapi juga dampak buruknya mengerikan, seperti kanker yang
menggerogoti. Bagaimana Blackberry bisa dimiliki anak-anak usia SD dan mereka
bisa mengakses informasi apa saja tanpa saringan. Jika mentah-mentah mengadopsi
kalimat Khalil Gibran, memberikan anak-anak kita kepada zamannya. Maka sikap
terhadap anak yang serba boleh, kendali yang sangat longgar, yang akan terjadi
sudah bisa diterka, anak akan hidup semaunya tanpa aturan yang jelas tanpa
tujuan hidup yang pasti. Waktu kebersamaan kita dengan anak-anak kita sangat
singkat, lebih dari usia 9 tahun anak-anak telah bertransformasi menjadi
manusia seutuhnya dengan kehendak dan keinginannya sendiri, dalam waktu yang
singkat itulah kita bisa menanamkan pondasi agar anak kita bisa menjadi manusia
yang kokoh tidak tergerus arus zaman yang buruk. Selagi masih ada waktu dan
kesempatan kita tempatkan diri kita sebagai pintu masuk informasi yang mereka terima,
menjadi tauladan bagi aturan-aturan hidup yang akan mereka jalani selamanya. Mempersiapkan
mereka untuk menyambut zamannya nanti yang entah akan seperti apa. Untuk
melanjutkan peradaban manusia yang lebih baik. Wallahua’lam.
“The Real Noah Ark” Perahu Nabi Nuh A
Semuanya pasti sudah pernah mendengar kisah tentang Nabi Nuh dan perahunya yang luar biasa bukan?
Beberapa agama dan banyak kebudayaan mulai dari kebudayaan Sumeria, India, Wales, China hingga mitologi Yunani menyebutkan tentang banjir nabi Nuh. Tapi yang paling detil tentu saja ada dalam Al-Qur’an, puluhan ayat mengisahkan dengan lengkap sejak nabi Nuh diperintahkan membuat bahtera hingga akhirnya banjir maha dahsyat itu terjadi.
Peristiwa itu terjadi sekitar 4800 tahun yang lalu, dan sejak itu posisi terakhir bahtera nabi Nuh menjadi misteri dan perbincangan di berbagai kalangan. Pada tahun 1960 pesawat Tentara Nasional Turki memotret benda aneh, mirip perahu di puncak gunung Ararat-Turki, dengan panjang 150 meter yang diduga sebagai perahu Nabi Nuh. Pada ketinggian 4.600 meter.
Sejak saat itu banyak ilmuwan dari beberapa negara bergabung dan melakukan penelitian dan penggalian. Dari hasil laboratorium, perahu itu terbuat dari kayu yang sudah membatu berasal dari kayu purba yang telah punah. Dari hasil pengamatan ilmuwan menyatakan perahu ini adalah stuktur yang dibuat manusia, scan radar menunjukan pola timah yang tetap di dalam formasi perahu, ada balok-balok kayu besar di dasar perahu, dinding pemisah, kandang-kandang binatang, lorong-lorong jalan dalam perahu, pintu bagian depan dan pusat area terbuka untuk sirkulasi udara untuk tiga tingkat ruangan dalam perahu. Ditemukan juga jangkar batu besar dibelakang perahu untuk mengokohkan tumpangan. Secara keseluruhan menunjukan kerangka struktur perahu yang canggih.
Saat ini lokasi bahtera nabi Nuh tersebut dijadikan Taman Nasional Perahu Nabi Nuh (Warisan Nasional)
Langganan:
Postingan (Atom)