Jumat, 14 Desember 2012

Mayana tenggelam dalam cinta

saya mencoba belajar mereview novel mba Dian Nafi yang sekarang pasti sedang diperjalanan menjeput impiannya dari Demak ke Jakarta. inggih mba??
mumpung masih hangat, novel ini baru saya baca.
Mayasmara karangan Dian Nafi dan Artgusfaizal. buat saya sampulnya terlalu sederhana untuk novel yang memiliki kalimat-kalimat seindah itu. Biru, blek tanpa ada efek apapun. mungkin untuk memberi kesan penegasan atas sesuatu.
masuk ke dalam isi novel, saya dibuat tercengang dengan paragraf-paragraf kalimat mempesona yang panjang (saya mengatakannya bait-bait nyastra). meski rada berbelit hingga saya harus mengulang beberapa kali untuk sebuah paragraf, karena ketidakmengertian saya. Awalnya saya pikir tidak akan ada pesan islami di dalamnya, ternyata cukup kental dengan menghadirkan adegan umrah dan thawaf.
penjabaran cerita porsinya lebih sedikit dari deskripsi kegalauan si tokoh yang dituliskan dalam kalimat-kalimat nyastra itu.  mungkin karena terlalu lama saya tidak pernah lagi membaca buku yang sedikit berat. jadi lebih menyukai penjabaran cerita yang porsinya lebih besar.
Karena novel ini ditulis oleh dua orang, betul begitu?? ketika membacanya ada gaya bahasa yang berubah. dari yang tadinya bahasa formal menjadi lebih santai.
saya terganggu dengan pengutipan lagu-lagu yang berbahasa inggris yang dimasukan full lyrik, selain tidak mengerti karena bahasa inggris buat saya tidak memberikan apa-apa, selain mempertebal halaman. (maaf...) tapi kutipan-kutipan orang-orang bijak yang ada di bab TITLE saya suka meski pengemasannya sedikit monoton juga.
Novel ini peralihan point of viewnya sedikit membingungkan, Mayana, Nero dan narator. ada pada paragraf yang sama dari si narator tiba-tiba jadi Nero. ketika perbincangan Mayana dan Nero pun sedikit membingungkan, mungkin jika jenis fontnya dibedakan akan lebih cepet ngerti.
Jenis paragraf yang digunakan rata kiri dan kanan, menjadikan novel ini memiliki penampilan yang berbeda. Typo salah ketika saya temukan beberapa, hampir banyak.
Saya tidak terlalu faham dengan Endingnya, memang dibuat terbuka atau sebenarnya jelas namun tersamar.
Tapi secara keseluruhan, saya menyukai tema yang diangkat. dimana seseorang bisa jatuh cinta lewat dunia maya, memang debarannya jauh lebih dahsyat dari yang berjumpa dikehidupan nyata. meski ketika bertemu atau kopi darat---istilah zaman dulu untuk mereka yang suka ngobrol di interkom, sebelum adanya internet --- sedikit saja yang berhasil.
Namun pendalaman makna CINTA nya luar biasa dalam kalimat yang indah ini, memperlihatkan bahwa banyak referensi yag tidak singkat dan sederhana oleh mba Dian Nafi dan rekannya untuk menghadirkan novel ini.

Kamis, 13 Desember 2012

Mengemas kecewa

Jika baru saja mendapati bahwa diri saya gagal, gagal dan gagal lagi saya mudah sekali terpuruk. dan bangkitnya luar biasa susah. Ada kata pamungkas dari ibu saya, yang kemudian selalu bisa membangunkan saya meski perlahan. "makanya jangan pernah menggantungkan harapan sedikitpun sama yang namanya manusia!" kata-kata ibu saya selalu mendengung setiap kali saya bertemu kegagalan, terasa pedas dan 'nampol' memang tapi itu cukup bisa mencubit kedalaman batin saya.
Memang tidak terbantah Allah sanga Maha Cinta lah yang seharusnya kita jadiakan untuk menggantungkan segala asa, angan, mimpi bahkan igauan. tak ada lagi hanya Dia. tapi saya selalu memohon maaf kepada-Nya untuk menikmati rasa kecewa, yang wajar dan manusiawi. untuk kemudian meminta bantuannya dalam mengemas kecewa dan menyimpannya di rak sepatu terbawah sebagai tanda 'kegagalan' ini bukanlah apa-apa. kegagalan ini tidak akan mampu menghancurkan saya.

Kamis. 13 Desember 2012

Minggu, 12 Agustus 2012

Buka Bareng, Kehujanan Bareng

Hari ke 23 Ramadhan TK tempat anak saya sekolah mengadakan buka bersama, padahal anak-anaknya enggak shaum, emak-emaknya aja yang rempong.
Buka shaum dimanapun tetap sama, selayaknya makan dimanapun tetap sama menggunakan tangan masuk ke mulut. asal sehat pasti nikmat. Tetapi selalu ada kenikmatan yang sulit diurai ketika azan berkumandang, anak-anak dan ibu-ibu berkrasak krusuk (buka kresek es buah) dan slurup. puluhan desahan achhh...melepaskan dahaga, dilangit-langit sekolah terkumpul do'a-do'a pengantar buka. 

Teras sekolah tak beratap dijadikan tempat untuk buka shaum, dalam penantian detik-detik berbuka byurrr....turun hujan. semua yang hadir kocar kacir, menyelamatkan diri sendiri. (itu baru turun hujan, apalagi turun meteor?? itu baru di dunia, apalagi diakherat nanti. ibu tidak bisa menolong anaknya, anak tidak bisa menolong ibunya. semua sibuk dengan urusan masing-masing)

Yupp, selamat berbuka, panjatkan do'a sebanyak-banyaknya. dua moment yang mustajab, berdo'a ketika buka puasa dalam keadaan hujan pula. kehujanan bareng-bareng pula.


Minggu, 05 Agustus 2012

Menjadi Ibu Belajar Sepanjang Jalan


Menjadi ibu adalah karier tanpa batas pensiun, “everlasting career” selamanya mereka adalah anak-anak kita, dan selamanya kita adalah ibu bagi mereka. Tanpa persiapan sekalipun setiap wanita hamil yang kemudian melahirkan harus terjun bebas, dituntut untuk bisa menjadi seorang ibu, apa yang membuat kita bisa mengurus anak pertama tanpa pengalaman? tentu saja naluri. Tapi ternyata kita tidak hanya membutuhkan naluri saja tapi juga ilmu, ilmu bagaimana menahan sabar, ilmu bagaimana menundukan ego kita demi kesejahtraan mereka, ilmu bagaimana menjadi ibu yang akan mereka kenang sebagai ibu terbaik yang mereka miliki kelak.
            “Tidak ada yang mengenal seorang anak selain ibunya sendiri” entah kalimat itu saya baca di mana dan akhirnya membuat saya tertegun “sudahkah saya mengenal anak-anak saya secara keseluruhan, tentang keinginannya tantang kemarahannya? Sudahkah saya mengenal sisi terdalam putra putri saya? Ataukah saya hanya mengenal cangkang mereka saja?” saya tatap satu persatu anak-anak saya yang sedang terlelap dan saya bisikan “sungguh bunda mencintai kalian luar dan dalam”. Terbayang sudah keributan-keributan yang sering terjadi diantara saya dan anak-anak, tentang waktu mandi yang seringkali mereka tolak karena masih asyik bermain. Tentang tawar menawar waktu belajar dan tentang banyak hal kecil yang sering jadi bahan keributan. Bagaimana jika pengalaman itulah yang menempel di memori mereka, yang akan menguntit mereka hingga dewasa. Hingga anak-anak akan mengingat saya sebagai ibu yang otoriter, nauzubillah.
            Dengan penuh keyakinan saya tanamkan dalam hati, masih banyak waktu untuk merubah diri, untuk memperbaiki diri, untuk belajar dari pengalaman dan dari orang-orang yang berilmu. Jangan hanya mengajak anak untuk belajar, tapi saya juga harus banyak belajar. Jangan hanya menyemangati anak-anak untuk maju, tapi saya juga harus mau maju bersama mereka. lagi-lagi ilmu menjadi ibu dibutuhkan dalam hal ini.
            Dalam perenungan singkat ini yang saya impikan adalah anak-anak yang selalu berada di jalur yang benar, meskipun mereka menemukan kondisi yang berbeda dengan kondisi yang berada di dalam rumah mereka. Bagaimana mereka tetap bisa menjaga shalat mereka meskipun tidak ada yang mengingatkan, bagaimana mereka tetap bicara yang baik meskipun saya tidak ada dihadapannya, bagaimana saya bisa menjadi sahabat dengan telinga yang selalu setia mendengar kisah-kisah seru hidupnya. Bagaimana saya selalu dijadikan mentor tempat mereka bertanya tentang apapun masalah mereka. Semoga Allah SWT memperkenankan.
            Anak bisa menjadi anugerah bahkan bisa menjadi ujian. Seorang anak penghafal Al-qur’an bisa menghadiahkan baju kemulian bagi orangtuanya di surga kelak. Demikian juga sebaliknya, orang tua yang sholeh bisa saja masuk neraka jika kesaksian anak mereka menyatakan bahwa sang anak tidak pernah diajarkan tentang agama, sungguh malu bukan kita di hadapan Allah?. Maka memberikan yang terbaik sepenuh kemampuan kita adalah yang utama, berusaha menghidangkan makanan terbaik untuk anak-anak kita, berusaha menyekolahkan anak-anak di sekolah terbaik berdasarkan kemampuan kita yang sesuai dengan visi misi hidup kita. Untuk kesemuanya itu kita harus mengorbankan banyak materi, sungguh TIDAK APA-APA. Semuanya kita lakukan tidak lebih hanya agar anak-anak kita jasmani dan ruhaninya bisa bermanfaat bagi banyak orang, dan mereka beriman dengan cara yang benar. Juga agar kita kelak jika dipanggil oleh Yanga Maha Kuasa, kita sanggup berdiri di atas kaki kita dengan percaya diri, bahwa kita sudah merawat dan mendidik anak-anak kita yang tidak lain adalah amanah dari-Nya dengan kemampuan terbaik kita, dengan usaha maksimal.
Kata Khalil Gibran “anakmu bukan anakmu, anakmu adalah milik zamannya”. Bisa “iya” bisa “tidak”. Saya selalu diingatkan oleh ibu saya bahwa jangan terlalu keras dalam mendidik anak, “toh dulu juga kamu dibiarkan tanpa diajarkan tetap aja bisa baca, bisa ngaji dan lain sebagainya”. Ibu saya lupa dulu saya bisa baca kelas 2 SD dan bisa ngaji dengan lancar kelas 4 SD. Anak zaman sekarang, umur 5 tahun atau kelas TK B hampir rata-rata sudah bisa baca, diajarkan mengaji sudah sejak usia 4 atau 5 tahun. Kenapa harus lebih cepat dari zaman dulu? Karena kini gempuran informasi dan teknologi sudah semakin mengganas. Manfaatnya bisa kita rasakan tetapi juga dampak buruknya mengerikan, seperti kanker yang menggerogoti. Bagaimana Blackberry bisa dimiliki anak-anak usia SD dan mereka bisa mengakses informasi apa saja tanpa saringan. Jika mentah-mentah mengadopsi kalimat Khalil Gibran, memberikan anak-anak kita kepada zamannya. Maka sikap terhadap anak yang serba boleh, kendali yang sangat longgar, yang akan terjadi sudah bisa diterka, anak akan hidup semaunya tanpa aturan yang jelas tanpa tujuan hidup yang pasti. Waktu kebersamaan kita dengan anak-anak kita sangat singkat, lebih dari usia 9 tahun anak-anak telah bertransformasi menjadi manusia seutuhnya dengan kehendak dan keinginannya sendiri, dalam waktu yang singkat itulah kita bisa menanamkan pondasi agar anak kita bisa menjadi manusia yang kokoh tidak tergerus arus zaman yang buruk. Selagi masih ada waktu dan kesempatan kita tempatkan diri kita sebagai pintu masuk informasi yang mereka terima, menjadi tauladan bagi aturan-aturan hidup yang akan mereka jalani selamanya. Mempersiapkan mereka untuk menyambut zamannya nanti yang entah akan seperti apa. Untuk melanjutkan peradaban manusia yang lebih baik. Wallahua’lam.

“The Real Noah Ark” Perahu Nabi Nuh A


Semuanya pasti sudah pernah mendengar kisah tentang Nabi Nuh dan perahunya yang luar biasa bukan?  
Beberapa agama dan banyak kebudayaan mulai dari kebudayaan Sumeria, India, Wales, China hingga mitologi Yunani menyebutkan tentang banjir nabi Nuh. Tapi yang paling detil tentu saja ada dalam Al-Qur’an, puluhan ayat mengisahkan dengan lengkap sejak nabi Nuh diperintahkan membuat bahtera hingga akhirnya banjir maha dahsyat itu terjadi.

Peristiwa itu terjadi sekitar 4800 tahun yang lalu, dan sejak itu posisi terakhir bahtera nabi Nuh menjadi misteri dan perbincangan di berbagai kalangan. Pada tahun 1960 pesawat Tentara Nasional Turki memotret benda aneh, mirip perahu di puncak gunung Ararat-Turki, dengan panjang 150 meter yang diduga sebagai perahu Nabi Nuh. Pada ketinggian 4.600 meter.
 
            Sejak saat itu banyak ilmuwan dari beberapa negara bergabung dan melakukan penelitian dan penggalian. Dari hasil laboratorium, perahu itu terbuat dari kayu yang sudah membatu berasal dari kayu purba yang telah punah. Dari hasil pengamatan ilmuwan menyatakan perahu ini adalah stuktur yang dibuat manusia, scan radar menunjukan pola timah yang tetap di dalam formasi perahu, ada balok-balok kayu besar di dasar perahu, dinding pemisah, kandang-kandang binatang, lorong-lorong jalan dalam perahu, pintu bagian depan dan pusat area terbuka untuk sirkulasi udara untuk tiga tingkat ruangan dalam perahu. Ditemukan juga jangkar batu besar dibelakang perahu untuk mengokohkan tumpangan. Secara keseluruhan menunjukan kerangka struktur perahu yang canggih.
        Saat ini lokasi bahtera nabi Nuh tersebut dijadikan Taman Nasional Perahu Nabi Nuh (Warisan Nasional)