PUISI



Tak Semerah Gincu

Panggil aku Lolita.
Kini aku Lolita.
Esok aku bisa jadi Sukarsih atau Mariana.
Tetapi dulu sampai lima tahun yang lalu,
aku adalah Suminar

Aku tidak ditipu, dibujuk atau dirayu.
Hanya karena bapakku gagal jadi kepala desa,
lalu berhutang kepada setiap tetangga.
Hingga kami hanya bercinta dengan derita
terkadang dengan air mata.

Aku berjalan dengan kakiku,
memilin rokku, hingga sampai setengah paha.
Ku datangi sendiri gang sempit ini,
yang menjadi lengkap dengan bau busuk got.
Ku lipat kartu nama,
milik manusia yang lebih busuk dari pada got.
Tetapi ia janjikan gelindingan mutiara
dari pahaku yang kuning dan pejal
dan dari payudaraku yang putih bersih.

Pemuda yang tengah merayakan kelulusan,
menjadi pegawai negri
tanpa ku tahu namanya
adalah pelanggan pertamaku.
Kami bergumul dalam lautan lendir yang bergemuruh,
dia tenggelam dalam tinta gincuku.

Waktu berlalu tanpa ku tahu.
Hingga aku jumpa dan jumpalitan dengan seorang sutradara,
sebuah acara lelaki tengah malam.
Dan aku jadi figuran.
Sia sia ku kencani dia tiap malam
aku tak kunjung pegang peranan
tiba tiba dia menghilang.
Masuk penjara.
Karena narkoba

Sial….
Ternyata kepopuleranku
hanya sebatas ekor biawak.
Akhirnya aku kembali,
memilin rok dan membuka dadaku
Hanya demi hidup
Yang kutahu akan berakhir

Bola mataku masih terkantuk
sayup, sayup.
Ketika rembulan itu datang
dalam seulas senyuman,
seperti digelitik awan dari kiri dan dari kanan.
Ia hanya menjabat satu tanganku
tanpa sedikit pun menyentuh bibirku.
Kami hanya bercinta dengan bahasa
dan terlelap dalam kata kata,
dia bertanya
dan aku menjawab.
Dia menatap mukaku
tanpa sedikitpun melirik pantatku.
Dadaku di bawa terbang oleh burung elang,
ku terhempas dalam gelombang
bergejolak dalam cinta.
Tanpa pernah ku tahu
ini adalah cinta.

Dia membayarku lebih dari yang ku kira,
kemudian ia berlalu.
Ingin ku rengkuh pundak tegapnya
tapi aku malu.
Untuk pertama kalinya aku punya malu.
Ku terlelap dalam lamunan
dan ku bercinta dengan gulita.
Oh malam gulitakan engkau sepanjang waktu,
agar mentari cemburu padamu.

Alisku yang melingkar
ku buat berputar putar,
ketika pria setinggi bahuku
menggamit lenganku.
Dan ternyata ketiaknya bau.
Pertama ia ikat tangan kananku
lalu tangan kiriku, ke sudut-sudut ranjang
oleh selendang sutra warna merah jambu.
Ketika aku masih tertawa terkikik
ia tarik kedua kakiku
lalu ia renggangkan dan mengikatnya.
Ia keluarkan tali kulit
berwarna coklat kehitaman
terjalin tiga membentuk kepangan.
Untuk pertama kalinya aku diperkosa orang lain,
Setelah aku memperkosa harga diriku
selama bertahun-tahun.

Ku tergeletak dalam bangsal kelas tiga.
Rahangku terkilir.
Leherku retak.
Seluruh tubuhku dibanjiri titik biru lebam.
Tak ada yang peduli.
Tak ada yang mau berbagi.
Apalagi menemani.

Aku ingin pulang,
pulang ke kampungku
dan kepangkuan ibu.
Ingin aku bersihkan hari hariku,
tapi debu terus menghinggapiku.
Ku coba mandi madu
tapi badanku semakin bau.
Aku malu kepada terang,
karena hariku tak kunjung benderang

Adakah gemerincing cinta  akan melewati langitku?
karena kini, ku hampir letih layu,
badan elokku merosot
pipiku menyusut
dan dadaku menciut.
Lendir berdarah penuh nanah
deras mengalir dari lubang hidungku
helaian rambutku kian banyak yang menyerah
hingga ku berjongkok dan terjerembab dalam pasrah.
Virus itu telah menyebar dan mengakar,
tanpa ku tahu ia telah tumbuh liar.

Dan kini telah tiba waktu,
yang terhenti hanya untukku.



Sulanjana, 26 september 2006




Ketika Cinta Hadir Tanpa Suara.
Oleh : Asnazain

Ketika matahari menggunting awan
Menyibakkan mendung di sudut mataku
Kau hadir bersama mega-mega keemasan
Diam namun menghangatkan.

Kau seperti titik hitam pada hamparan merah saga
Cintamu terlihat meski tidak pernah kau katakan

Kau bawa Cinta Muhammad dan Khadijah ke dalam rumah kita
Untuk menerangi jalan yang seringkali terasa terjal
Kau hanya janjikan cinta dari yang Maha Mulia
Ketika kau sunting mawar di hatiku.

Diammu dalam rajukanku
Melarutkan gelisah dalam dekapan embun
Anggukanmu dalam marahku
Seperti menyajikan anggur bagi pengembara yang kehausan

Perbuatanmu
Perjuanganmu
Lebih nyata dari sebuah kesunyian
Lebih terasa dari tetesan hujan
Lebih terdengar dari dentingan dawai.

Kelopak mataku, aku mencintaimu
Dan aku percaya, kau akan mencintaiku dengan caramu.

Villa Mutiara, 
7 agustus. 05.55.