NOVEL



EPISODE YASMIN



.:. Perpisahan Sederhana .:.

Sepanjang lengan kiri Banna masih menampakan luka operasi. Terbayang ketika pisau bedah yang sangat tajam menyayat lengannya. Kemudian para dokter membetulkan posisi tulang yang retak dan mencuat keluar.
            Perutnya masih dibebat stagen, akibat perubahan posisi beberapa tulang iganya. Luka-luka itu ia dapatkan ketika berolahraga paralayang. Terjun dari puncak, lalu berjumpa dengan angin kencang yang tidak bersahabat. Ia mendarat melesat dari sasaran. Terguling, terperosok pada tebing yang curam. Baru ditemukan satu jam kemudian dalam keadaan pingsan dengan sedikit darah di tangan, kaki, kepala, dan menanggalkan dua giginya.
            Banna seperti memiliki seratus nyawa cadangan. Luka-luka yang untuk kesekian kalinya itu tidak juga membuatnya berhenti menjadi liar. Ia tetap terjun, terbang, tenggelam dikedalaman laut, melesak menerobos gua-gua, menghilang, lalu kembali, lalu pergi, lalu datang lagi
            Aku dan Key hanya sebagai pelepas penat sesaat, beruntung ia tidak lupa jalan pulang karena ia pernah meninggalkan kami selama tiga bulan tanpa kabar sepatah katapun. Ketika pulang, badannya kurus tetapi kekar, seperti tidak makan satu bulan. Kulitnya gelap terbakar. Badannya bau anyir menyengat. Tetapi wajahnya semakin garang. Ia hanya berujar singkat saat itu, “ternyata Kamboja itu luas, dan sangat memukau! Sebenarnya aku sangat merindukan kalian, tetapi aku enggak menemukan wartel di sana!”
            Setelah hari itu, hubungan kami mulai gerah. Kami tertulari sifat Tom and Jerry. Mandra dan mas Karyo. Seperti kutub utara dan selatan. Tidak pernah sepakat, dan aku tidak mau pernah mengalah.
           
Malam itu Banna kembali mengepak barang-barangnya ke dalam ransel, hanya tiga helai kaos, dan buku-buku. Melulu buku-buku, lalu ia mengambil salah satu dan membukanya. Keningnya mengkerut, wajahnya serius.
“Aku enggak mau kamu pergi ke Malang!” kataku ketus.
“Hanya tiga hari, say!”
“Enggak!”
Banna tetap meneruskan membaca.
“Dulu kamu bilang Cuma satu bulan, nyatanya tiga bulan! Sekarang kamu bilang tiga hari, taunya tiga tahun!” omelku
“Cuma kejuaraan gantole biasa aja! Enggak akan makan waktu lama!” Banna menjelaskan.
“Aku enggak peduli, aku mau kamu enggak pergi!”
Banna menutup bukunya, ia mulai tertarik dengan pembicaraan kami. “Yasmin, kenapa sih? Enggak biasanya kamu…” Banna menggantungkan kalimatnya.
            Mulutku telah lama gatal, aku langsung meradang. “Yah! Tepat sekali tuan Banna! Aku enggak biasanya rese!? Sekarang aku mau minta hakku! Hakku untuk ngomong! kalau aku enggak setuju! kalau aku enggak suka! Kamu udah tua Banna, udah bukan saatnya lagi berkelana macam begini!”
            “Tapikan aku menghasilkan uang! Kamu enggak kekurangan!”
            “Titik beratnya bukan pada uang, aku bisa cari uang sendiri!” Dahi Banna berkerut emosinya mulai tersentil tapi aku tak perduli, aku tidak ingin menyisakan masalah malam ini. “Pada eksistensi kamu tuan Banna! Sebagai ayah karena ada Key yang butuh kamu. Karena ada aku yang khawatir!”
            Banna menghirup napas dalam. Tak dapat aku terka isi otaknya, sadar atau balik berontak. Wajahnya masih dingin dan kaku.
            “Dari dulu aku begini! Enggak ada kesepakatan diantara kita untuk berubah kan? Suka, tidak suka kamu menikah sama aku yang begini!” jawabnya datar sambil berdiri.
            “Aku enggak bisa kaya gini terus!” jawabku
            “Jadi mau kamu apa?” Banna masih bertanya.
            “Aku…mau…kamu enggak pergi!” kata-kataku jelas dan pelan.
            “Tapi aku akan tetap pergi!”
            “Kalau begitu! Enggak usah kembali!”
            Aku tidak menatap wajah Banna saat mengakhiri pembicaraan itu, berekspresi kaget, senang, atau murung aku tidak tahu. yang jelas keesokan harinya ia tetap pergi. Tanpa pesan apapun.
            Hatiku berkecamuk, murka tidak terkira. Tidak dihiraukan itu sama sakitnya dengan putus cinta. Aku hanya meminta ia tidak pergi yang memang tanpa alasan. Aku ingin mengukur seberapa peduli ia pada permintaanku. Ternyata nol, semua terjawab dengan sendirinya.
Aku harus melangsungkan apa yang telah aku lontarkan. Bertanggung jawab pada mulutku.
Setelah dua hari Banna meninggalkan rumah, setelah berpikir keras untuk tidak perduli, untuk kuat mengambil keputusan ini akhirnya aku beranikan diri mengsms Banna.
“Pembicaraan terakhir kemarin, bukan kalimat hanya sekedar lewat.”
            Malam harinya Banna menjawab dengan kalimat singkat, padat, tepat, namun menusuk.
            “Ok. Aku sepakat.”
            Banna tidak menolak, tidak juga mendebat. Sesederhana itu ia berkata setuju mengakhiri pernikahan kami, sementara aku butuh waktu lama untuk berani mengusulkan perpisahan.
Perasaanku tidak lagi murka, tapi perih menyeluruh. Serupa gesekan ilalang pada lidah yang telanjang. Setiap saat mataku terus-menerus mengambang karena air mata terus menggenang, namun ia tidak kunjung tumpah untuk menyejukan hati yang sesak ini.
►◄►◄►◄

Key, pasti sudah menungguku. Pasti kesal, pasti marah. Terbayang wajahnya yang oval menyorongkan mulutnya ke depan. Membelalakan matanya yang bulat. Dan, dia pasti membandingkan aku dengan ibu teman-temannya, atau ibu guru Kartika. Dan diakhiri dengan gerutu-gerutu yang lucu tapi terkadang menyebalkan.
            Aku ganti sepatu high heelku dengan sandal ceper, agar bisa berlari menyusuri lorong-lorong yang panjang. Lebih tepatnya agar tidak menimbulkan bunyi tak-tok yang berisik.
            Koridor ini terlalu panjang untuk ukuran sekolah TK. Hingga jalanku tidak kunjung sampai. Seluruh bangunan telah sepi, taman bermainpun sunyi. Terbayang Key yang menungguku kesepian.
            Akhirnya tiba juga diruang perpustakaan tempat biasa anak-anak menunggu jemputan. Seperti biasa bu guru Kartika menemani Key di meja sudut, ia tampak sibuk dengan setumpuk buku dan kertas-kertas ditangannya. Sementara Key masih di depan computer, memainkan PC Boby Bola kesukaannya. Napasku masih memburu ketika sampai dipintu perpustakaan, tetapi Key telah melihat kedatanganku.
            Ia langsung menghentikan permainannya, dan beranjak menghampiri ibu guru kesayangannya untuk berpamitan. Bu Kartika mengangguk dan tersenyum lalu berjalan kearahku.
            “Assalamu’alaikum!” sapaku.
            Ibu Kartika kembali tersenyum ramah, “Waalaikumsallam!” jawabnya ceria.
            “Maaf bu, terlambat. Mohon maaf sekali ibu jadi ikut menunggu lama!” aku membungkukan tubuhku.
            “Ah, tidak apa-apa bu, saya masih kerja ko’!” sahutnya lembut. “saya senang saja, jadi ada nemenin, ya!” tambahnya sambil mengelus rambut Key
            Wanita subur setengah baya ini belum menikah. Tetapi dedikasinya kepada profesi yang ia jalani tidak perlu diragukan lagi, cintanya terhadap anak-anak bukan buatan. Rasa itu muncul alamiah, nuraninya sebagai ibu tumbuh sempurna melebihi aku dan mungkin banyak ibu yang lain.
            Key menyeret tasnya sepanjang koridor, juga menyeret langkahnya, kebiasaan Key jika sedang marah besar.
            “Sini mamih bawain tasnya!” kataku menawarkan diri, mencoba mengendurkana suasana dan mencari celah untuk meminta maaf.
            “Enggak usah, tasnya berat!” jawabnya ketus.
          Aku menghela napas, senang rasanya ia mau menjawab meski dengan kata-kata yang singkat dan ketus, “Ok!”  sahutku.

            Key mengeluarkan beberapa buku dari tasnya. Buku-buku hard cover yang bertema seputar Transportasi Berat ia baca lagi untuk kesekian kalinya. Kegilaannya membaca, menyukai buku sudah seperti Banna, bahkan Banna mendekati gila beneran dan hampir sinting.
            Semoga hanya kegilaannya terhadap buku saja yang menetes kepada Key. Lainnya tidak, tidak sama sekali. Hobinya keluar masuk gua, menyelam disetiap teluk yang ganas, meluncur seperti burung dari bukit tertinggi. Menerjang dingin, mengitari sahara, menjilati ilalang, menapaki bumi berharap menemukan benua yang baru. Lalu namanya akan tercatat sepanjang zaman.
Semoga Key menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap cinta yang pernah ia lontarkan, janji yang pernah ia ucapkan, benih yang pernah ia titipkan. Semoga kali ini garam tidak menetes kebawah, kesamping jika perlu. Atau lebih baik ia menjadi butiran kristal agar tidak ada jiwa yang tercemari oleh rasa asinnya.
            “Maaf ya! Mamih telat jemput” suaraku memecah kebisuan diantara kami. Pendekatanku seringkali kurang berhasil jika telah berhadapan dengan konsumen yang satu ini. Seni menghadapi anak sama dengan seni menghadapi konsumen, berhati-hati karena sucsess vi kita ada ditangannya, alias masa depan kita ada dalam genggamannya. Salah gaya, usaha malah akan berbuntut berantakan. Salah waktu bisa mengakibatkan semua yang dibangun jadi semakin semrawut.
            Key hanya menganggukan kepalanya, lalu kembali tenggelam dalam lembaran bulldozer dipangkuannya. Tapi yang penting ia telah memaafkanku. Kuputar lagu Samson kesukaannya pelan, ia tetap belum bersuara.
            “Nanti lagi kalau mamih enggak bisa jemput, bilang aja!” akhirnya gerutunya dimulai. “enggak usah janji!” Key masih memonyongkan mulutnya. “aku bisa pulang ikut jemputan!” Tambahnya.
            “Lagi mamih tuh datangnya telat banget sih?”
            “Iya, nanti lagi enggak begitu deh!” jawabku menetralkan emosinya. “maaf, sorry, sorry sayang!” bujukku. “Mamih enggak bisa ninggalin bos mamih gitu aja, mamihkan mesti izin dulu dong!”
            “Iya…kalau enggak gitu nanti mamih dipecat, kalo dipecat nanti mamih enggak punya uang untuk aku beli buku, beli bola, beli robot!” cerocosnya cepat menirukan gayaku jika sedang mengomelinya.
            Tiba-tiba omelannya berhenti sebelum waktunya, wajahnya layu, matanya nampak mengambang. Berkali-kali kulirik wajahnya, tampak dingin.
            Tadi papih datang!” kisahnya singkat.
            “Oya!”
            “Papih bilang, dia enggak akan pulang!” kata Key sambil terus membuka lembar demi lembar bukunya. Kata-kata Key bukan sebuah pertanyaan, jadi tidak perlu aku jawab. “papih bilang, dia sayang sama aku!” Tambah key.
“So’ pasti!” jawabku singkat. Pasti anakku, dia pasti menyayangimu meski ia tidak akan selalu ada disampingmu. Biarkan kenanganmu bersamanya tetap ada. Mengendap dalam cermin kamarmu. Agar kau melihat betapa menyesalnya dia telah kehilangan kita berdua. Itu konsekuensi yang harus ia terima karena petualangan liar yang sukar ia kendalikan.
►◄►◄►◄

“Kenapa harus Banna yang menggugat cerai?” Tanya Tiana teman satu ruangan. “Kenapa enggak kamu aja Yas?”
            Aku hanya menggeleng sebagai bentuk repon yang singkat.
            “Ada sebentuk gengsi didalamnya! Yang bisa berkembang jadi opini publik! Siapa yang mengajukan gugatan cerai berarti dialah yang lebih dulu menginginkan perpisahan!”
            “Tidak akan ada publik yang membahas tentang perceraianku! Kecuali kamu dan geng penggosip di produksi sana! lagi…aku enggak seseleb gitu na!”
            “Heu..euh..ge er!” rutuknya. “Yang menggugat dialah yang dianggap menang! Dan yang digugat dialah yang dianggap kalah dalam sebuah perkawinan!” tambahnya lebih detil.
            Tidak pernah terpikir sebelumnya tentang pendapat Tiana tadi, saat ini yang ada di kepalaku hanya bagaimana mengakhiri hubungan yang mengambang ini. Mensudahi ketidaknyamanan batinku. Siapa yang mengajukan perceraian terlebih dahulu bukanlah perkara yang penting, bagiku bagaimana caranya agar semua selesai segera, agar aku bisa langsung menata ulang laju hidupku dan Key tanpa Banna secepatnya.
            Pernikahanku bukanlah sebuah pertempuran, tidak ada yang kalah atau menang dengan perceraian ini. Karena aku dan mungkin Banna, dan yang paling pasti adalah Key. Beserta keluarga besar kami masing-masing turut terluka. kami menderita duka yang sama dalam dimensi yang berbeda.
            Jika dikatakan menang, maka kami berdua adalah pemenang. Aku menang karena Banna mengabulkan permintaan ceraiku, dan Banna menang Karena dia kembali menjadi manusia bebas yang bisa berkelana sekehendak ususnya. Tanpa perlu ada yang dimintai izin lagi.
            Jika dikatakan kalah, sesungguhnya kami berdua telah kalah. Telah gagal untuk menundukan ego masing-masing. Telah kalah dihadapan Key, karena tak mampu bersanding serasi seperti impiannya. Telah kalah, karena sesungguhnya dalam pernikahan itu harus memiliki daya juang yang tinggi. Kami memang telah kalah telak dalam menjalankan teori pernikahan.
            “Kenapa Banna yang menggugat! Karena memang harus ada yang menggugat! Kenapa bukan aku, karena Banna bersedia” jawabku singkat pada Tiana. Jawabanku mungkin tidak memuaskannya, tetapi kami tidak harus selalu sepakat.

►◄►◄►◄

            Ruang sidang ini sempit, hanya berisi tiga baris kursi dan empat kursi di depan untuk sang hakim beserta cs-csnya. Catnya berwarna kelabu, entah karena warnanya memang demikian atau karena faktor usia. Mungkin dinding ini tercemar dari perasaan para pengunjung ruangan ini. Kelabu, abu-abu, samar-samar, terawang, melayang.
            “El-Banna Octora dan Yasmin Wijaya, apakah benar telah berkeyakinan untuk berpisah?”
            “Ya!” ucapku tegas.
            Banna hanya menjawab dengan anggukan.
            “Sudah adakah jalan lain yang dapat saudara tempuh, selain ini?” ucap Hakim tegas namun berjeda.
            Aku tarik napas dalam-dalam, “Tidak!” aku tidak melirik kearah Banna. Entah ia menggeleng atau mengangguk yang jelas tidak ada suara terdengar.
            “Baik” Lanjut pak Hakim. Berarti Banna telah menggelengkan kepalanya.
            “Pada sidang ke tiga, dalam perkara gugatan cerai yang diajukan saudara El-Banna Octora kepada saudari Yasmin Wijaya, ini saya minta saudara El-Banna mengucapkan akad talaq, sebagai berikut!”
            Banna berdiri sambil memegang secarik kertas, angin yang menyelinap melalui jendela menghembuskan aroma tubuhnya. Aroma yang dulu membuatku mabuk kepayang, aroma laki-laki, aroma kayu, batu, sungai. Aroma segala unsur alam yang ia gilai.
            Rambut gondrongnya tergerai hingga bahu, ujungnya ikal dan merah terbakar matahari. Rambutnya yang lebat, yang ia sukai menyisirnya hanya dengan sepuluh jarinya. Yang dulu biasa aku belai, dan biasa dijambak oleh jari-jari kecil Key.
           Pagi ini Banna sedikit rapih. Ia tanggalkan kemeja out door dua sakunya dengan kemeja putih lengan pendek. Tetapi ternyata ia tidak sampai hati merubah penampilannya untuk hari ini, celana PDL yang warnanya telah pudar lengkap dengan rantai dan ring tali bergelantungan dipinggangnya Seperti biasa, semakin menambah semarak penampilannya.
            Banna melirikku dengan ekor matanya. Menghela napas dalam-dalam. Ia pusatkan pandangannya pada kertas digenggamannya. Waktu bagai merangkak, semua berlalu sangat lambat. Aku menunggu, aparatur Negara dihadapnku menunggu, orang-orang dibelakngku menunggu.
Banna menoleh ke arahku. Riak mukanya datar, tanpa ekspresi, tatapannya dingin nyaris membekukanku. Tidak ada lagi pandangan penyesalan atau perlindungan seperti dulu dikedua bola mata itu. Ia membetulkan posisi berdirinya.
“Hari ini tanggal  3 september 2005, Yasmin Wijaya binti Ong Wijaya saya talak!” ucapnya tegas, sama tegasnya seperti ketika ia mengucapkan akad nikah enam tahun yang lalu.
Tidak ada nada penyesalan dalam lantang suaranya, bahkan tidak ada sebertikpun permohonan maaf untuk Key putra satu-satunya. Kenangan perkenalan kami, kebersamaan kami, pernikahan, kelahiran Key, pertumbuhan Key, sekolah Key, kata pertama Key, langkah-langkah pertama Key, seperti menguap serupa asap rokok yang tipis. Melayang bersatu bersama awan. Semuanya seperti tidak lagi berarti. Seperti tidak pernah terjadi.
Banna, bersamanya kebahagiaan pernah mencapai puncak, namun karenanya pula duka menerabas hingga ke sum-sum tulang belakang.
Aku merasa sangat sendiri karena aku memang sendiri, tidak seorangpun yang aku kabari hingga saat sidang terakhir tiba. Aku seperti terhisap gelombang, tersedot arus raksasa, tenggelam dalam nyeri tak terkira. Kecewa pada saat-saat aku bersabar, berkorban, melayani! Tuhan mungkin mencatat masa-masa itu, tapi aku akan menghapus seluruhnya. Hingga tanpa sisa, tanpa bekas. Cukuplah bukti yang nyata hanya berupa insan yang selalu mengalirkan semangat dan dukungannya.

►◄►◄►◄

            “Mam, kenapa mamih sama papih bercerai? Kenapa ibu bapak teman-temanku tidak ada yang bercerai?” Tanya Key lugu. “Atau semua orang tua akan bercerai kalau sudah waktunya?”
            Ya, semua orang tua akan bercerai kalau sudah waktunya tiba, sayangnya tidak semua pasangan bertemu dengan keadaan naas itu. Itulah yang namanya beruntung.
            “Kami bercerai, karena kami membutuhkan itu! Untuk menjadikan semua menjadi lebih baik!”
            “Aku enggak suka jadi lebih baik!”
            “Kenapa?”
            “Karena enggak bisa ketemu papih lagi!”
            “Aku mau yang biasa aja! Biar kalau mau ketemu papih enggak susah!”
            “Mamih sama papih enggak ceraipun, kamu pasti susah ketemu sama papih!”
            Key terdiam sebentar. “Iya sih! Kalau papih pergi kaya sekarang aku kan enggak bisa ketemu sama papih ya, mam!”
            “Emang sekarang papih ada dimana?”
            “Papua!”
            “haaahh…!” baru tiga hari saja putusan cerai, Banna sudah ada di Papua. “Key tahu dari mana?”
            “Kemarin, papih nelpon!” jawab Key sambil masih memainkan leggo dihadapannya. “Emang papih enggak kasih tau mamih?” aku menggeleng perlahan, sambil sedikit menahan malu. “Papih enggak pernah nelpon mamih? Karena cerai ya mam?”
            Kembali aku memutar kepalaku ke kiri dan ke kanan. Banna telah pergi tanpa mengabariku sedikitpun, ia telah memposisikan dirinya sebagai orang lain dalam kehidupanku. Tetapi tidak dalam kehidupan Key.
            Kenapa hatiku baru terasa kosong, seperti ada sesuatu yang tercerabut dari dasarnya. Aku pikir perceraian ini hanya menorehkan luka dipermukaannya saja, tetapi ternyata ia terpaku hingga ke lapisan hatiku yang paling bawah.
            Kenapa aku masih memikirkannya, sementara ia telah terbang tak perduli. Kenapa ia masih menyisakan derita semacam ini?
Ternyata perceraian belum menuntaskan semua, ataukah hatiku menuntut terlalu banyak dari kenyataan yang ada.

“Mam, kalau susah ketemu sama papih rasanya ingin nangis!”
Itu yang namanya sedih sayang.
“Kalau mamih, pengen nangis enggak?”
Aku menjawab dengan senyuman, “enggak! Kan ada kamu!” Key mengangguk.
“Mamih seneng Cuma tinggal sama aku”
“Bangeeuu…..ngeut!” jawabku tersenyum
Key tersenyum manis. “harusnya aku juga seneng! Tapi aku memang seneng ko’!”
“Kalau mamih seneng, aku seneng. Berarti kita bahagia ya mam!
Aku mengangguk dalam. “Ya sayang kita sangat bahagia!”
Dinding pemisah antara bahagia dan sedih itu sangat tipis, jaraknyapun bisa bersamaan terjadi. Inilah yang aku alami saat ini.
Tidak dipedulikan oleh orang yang telah menjadi orang lain, itu menjadi biasa. Terbayar lunas, karena amat dipedulikan oleh mahluk yang sebagiannya adalah diri kita, sungguh amat luar biasa. Melambungkan angan, daya hayal, dan imajinasi mimpi. Membirukan yang gersang, menghijaukan yang tandus. Mengais-ngais harapan untuk menganyam masa depan.



.:. Duka lain .:.

Tidurnya terlentang, dadanya naik turun teratur. Wajah lugunya membuatku semakin merasa bersalah, karena telah menghadirkan kehidupan yang tidak normal bagi usianya. Sungguh, bukan mauku semua menjadi begini. 
Hari-hari yang dulu penuh tawa, keadaan yang lengkap, ada aku dan Banna disisinya setiap saat, kini hanya bisa ia dapatkan dalam lelap tidurnya, dalam buaian mimpi indahnya.
Sesungguhnya Key lah yang paling terluka dengan perceraian ini, luka yang masih sulit ia jabarkan. Hanya bisa ia rasakan, dalam sebentuk kesedihan yang tidak pernah ia ungkapkan. 

Drett…drett…
Sudah hampir pukul 10 malam, siapa yang masih punya urusan selarut ini. Aku mengintip dibalik tirai. Taxi biru terparkir tepat di depan garasi, penumpangnya tidak terlihat.
Drett…drett…bel terus menderu. Kembali aku mengintip di balik tirai.
Ibu, ibu mertuaku yang sedang berdiri di balik pagar. Ia menggenggam pagar dan menatap rumahku dengan sayu, tatapannya iba, raut mukanya hampa. Aku langsung membuka pintu dan segera berlari menghampirinya. Ketika aku masih membuka kunci gembok, air matanya telah berurai, lalu tangisnya mulai terdengar.
Wanita tua itu menatapku tak berkedip, menghambur kepelukanku. Aku memeluknya erat, dia balas memelukku lebih erat. Supir taxi menyaksikan kami serius, mungkin ia mengira kami adalah sepasang ibu dan anak yang sudah belasan tahun tak jumpa. Seorang ibu yang baru menemukan anaknya yang hilang. Aku langsung mengangguk kepada supir taxi tersebut karena telah mengantarkan ibu.
“Terima kasih pak!”
“Kembali! Sudah ketemu ya bu!” katanya ramah ke arah ibu. “Permisi!” pamitnya.
Aku memapah ibu hingga ke ruang tamu, tangisnya belum juga mereda, isakannya semakin dalam. Tangisan dengan luka yang menganga, luka yang perih. Luka yang selalu ia dapatkan dari kisah hidup putra-putranya.
Ibu mertuaku adalah wanita yang lembut, ibu yang didamba setiap anak. Ibu yang bijak, yang selalu mendukung apapun yang anaknya inginkan. Ibu yang moderat. Ibu yang tegar.
Ia memiliki empat orang anak, yang semuanya laki-laki. Semuanya menyukai petualangan yang liar, back packer, kegiatan out door atau semua jenis yang berkaitan dengan itu. Banna adalah putra bungsunya, juga satu-satunya anak yang tersisa.
Dua putranya meninggal ketika belum sempat menikah, belum sempat meneruskan garis keturunan.
Anak pertamanya meninggal satu bulan sebelum wisudanya, aku hanya mengenal melalui foto dan cerita-cerita dari Banna dan ibu. Darwis biasa ia di panggil, bersama beberapa rekannya ia mendaki gunung Rinjani. Sebenarnya ia telah belasan kali mendaki gunung, bahkan yang lebih sulit dari gunung itu. Darwis bersama teman-temannya hendak mengisi liburan setelah selesai sidang. Melepas kepenatan karena berhasil lulus setelah kuliah yang panjang, hampir delapan tahun, semua semester yang tersedia ia habiskan.
Darwis biasanya pergi berbulan-bulan untuk mendaki gunung-gunung yang ada di seluruh penjuru negeri, tetapi untuk yang terakhir ini, ia berjanji hanya akan pergi selama dua minggu. Dan ia menepati janjinya, tepat setelah ia pergi dua minggu ia pulang, tetapi dalam keadaan tidak bernyawa.
Kejadian persisnya tidak ada yang tahu, hanya dikabarkan Darwis hilang selama tiga hari dan ketika ditemukan ia sudah meninggal. Kenapa bisa hilang juga tidak disampaikan detil kepada pihak keluarga, terasa ada yang ganjil memang mengingat itu adalah pendakian Darwis di Rinjani untuk yang ketiga kalinya. Dan dapat dipastikan ia telah hapal betul daerah itu.
Beberapa upaya pernah dilakukan, mencari fakta perihal meninggalnya Darwis. Tetapi semuanya berujung buntu. Akhirnya pihak keluarga hanya bisa pasrah.
Kejadian Darwis tidak menyurutkan niat dan semangat adik-adiknya. Ketiga adiknya berlaku hal yang serupa bahkan lebih serius lagi. Otto kakak kedua Banna tercatat di badan SAR nasional, dan sebelumnya aktif di organisasi serupa. Jaringannya luas hingga keluar negeri, kuliahnya putus ditengah jalan karena di DO. Setelah selama delapan bulan tidak pernah memperlihatkan batang hidungnya di kursi kampus.
Setelah tahu di DO, kegiatan Otto menjadi semakin ganas. Ia sempat tinggal di Kanada lalu pulang dengan membawa wanita bule. Akhirnya mereka menikah di Indonesia, dan dikaruniai seorang anak perempuan. Otto menjadi tim pengajar untuk maskapai-maskapai penerbangan, dan beberapa satuan angkatan darat. Ia mengajarkan kepada para pilot dan pramugari bagaimana caranya evakuasi dalam sebuah kecelakaan.
Dalam tugas itu pula ia tewas. Pada sebuah pelatihan terjun payung di Bali, parasut yang ia kenakan mendadak macet dan tidak mau mengembang. Takdir sudah menentukan, Ottopun harus tewas dengan cara yang sebenarnya telah sangat ia kuasai. Dan sebulan setelah Otto tewas istrinya kembali ke Kanada membawa serta anak mereka.
Sebenarnya jika diurut, Otto meninggal diurutan ketiga. Sekitar dua tahun sebelum Otto meninggal, Wisnu kakak ketiga Banna meninggal, tragisnya ia meninggal dengan cara yang sama dengan Otto.
Wisnu memang resmi tergabung di komunitas atlit terjun payung, bahkan Wisnu menguasainya lebih dahulu dibanding Otto. Wisnulah yang mengajarkan tehnik-tehnik terjun payung kepada Otto.
Namun teori adalah kata-kata, dan tehnik adalah cara. Tapi akhir adalah tanda, bahwa manusia tetaplah tidak berkuasa.
Wisnu meninggal di Magelang, dipenerjunannya yang entah keberapa ratus kali. Parasutnya mengembang tetapi tali-talinya kusut dan melilit badannya sekaligus parasut yang telah terkembang. Wisnu jatuh dalam keadaan berjongkok, tulang pahanya melesak menembus perut hingga rahang. Ketika dikafani badannya sukar kembali sempurna, jasadnya dibungkus bulat serupa gundukan jerami yang tidak tentu bentuknya.
Meninggalnya Otto adalah pukulan terberat untuk Banna dan yang pasti untuk ibu. Karena itu adalah kali ketiganya mereka kehilangan anggota keluarga dalam kurun waktu hanya delapan tahun. Kesehatan ibu sempat drop saat itu, dan hingga saat ini ia belum pulih sempurna. Banna sempat beralih profesi yang membuatku sedikit berlega hati, tetapi ternyata jiwanya tidak dapat ia bohongi terlalu lama. Ia tidak bisa memenjarakan keinginannya hanya karena trauma semata.
Banna berkeyakinan bahwa ketiga kakaknya akan sangat kecewa, jika tahu ia berhenti karena mereka meninggal dengan cara yang serupa. Tak dapat dipungkiri Banna trauma, tapi ia berkilah jika dibilang takut bernasib sama. Akhirnya tiga tahun yang lalu ia kembali bergabung dengan teman-teman lamanya. Dan kembali terdaftar jadi atlit nasional paralayang.
Sama-sama menggoda angin, melayang diudara. Melesat dikehampaan seperti Otto dan Wisnu.
Tetapi bukan hanya itu yang ia lakukan, ia juga turut mendaki Jaya Wijaya, menyelam dikepulauan seribu, di perairan Sumatra. Dan entah apalagi yang ia lakukan dan tidak kufahami.
Aku sempat mengenal Otto dan Wisnu, dua-duanya adalah lelaki yang sedikit bicara tapi banyak bekerja, persis seperti Banna. Raut wajah mereka tenang, tapi tatapan mereka garang. Mereka memiliki tubuh yang juga serupa, hanya Otto lebih pendek dari kedua adiknya. Badan mereka tegap, jauh dari gemuk tapi juga tidak kurus. Kering berotot.
Dari ibu aku harus banyak berguru tentang kelapangan hati, ditinggal oleh orang yang kita sayangi, baik ia pergi untuk selamanya, atau ia pergi untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Tetapi aku tidak sanggup meniru kesabaran ibu, kesabaran memapah jalan kehidupan seorang diri. Tidak dipedulikan oleh belahan jiwa yang tinggal sedikit bersisa.
Aku hidangkan teh hangat di hadapan ibu, dan mengajaknya untuk beristirahat.
“Bu, ibu tidur dulu aja, biar besok cerita-ceritanya!”
Ibu menggeleng.
“Ibu harus istirahat. Ibu lelah!”
Kembali ia menggeleng, seperti ada kisah yang ingin segera ia tumpahkan. Seperti tidak ada waktu esok lagi untuk ia berbagi kisah. Ibu menarik tanganku, menyuruhku duduk disampingnya.
“Kenapa enggak kasih tahu ibu kalau kalian!” ibu menggantungkan kalimatnya. Aku menunduk menjawab pertanyaannya.
Aku memang tidak mengabari ibu tentang perceraian kami, selain ini adalah tugas Banna sebagai anak kandungnya, juga aku tidak sampai hati melihat kesedihan mengambang diwajahnya.
Ibu meremas tanganku, tanda gemas sekaligus kecewa, tanda iba sekaligus ia turut merana. Kembali ia terisak setelah tadi sempat reda. Saputangannya telah basah kuyup digenggamannya, aku sodorkan tissue ke pangkuannya.
“Kita lanjutkan besok ceritanya ya bu!” bujukku.
“Ibu enggak akan bisa tidur!”
Ibu terus mendesakku untuk menyampaikan semua cerita yang ia dengar selintas dari Banna kemarin.   
“Banna kemarin interlokal dari…dari…mmhh!”
“Papua!”
“Yah, dari situ!” Ibu menghirup napas panjang. “katanya kalian mau! Tapi belumkan nak? Itu baru rencana kan? Jangan didengar, Banna memang….memang terkadang sinting! Kamu mesti sabar, Yasmin!” ibu terus bertanya tanpa memberi aku kesempatan menjawab. Memberondong tanpa jeda.
“Yasmin, rumah tangga itu enggak selalu mulus! Pasti ada kalanya datang kerikil! awan hitam!”
“Bahkan badai!” tambahku.
 “Husy!” Ibu menepuk lenganku
“Ibu sama bapak juga dulu pernah bertengkar hebat, bahkan nyaris ibu minta cerai! Tapi setelah masing-masing introspeksi diri, masing-masing menyesal dan sebenarnya kami saling membutuhkan! Enggak nak! Cerai itu enggak enak!
“Bu!”
“Kau tahu predikat janda di mata masyarakat kita? Katanya mereka masyarakat yang beranjak modern tapi kalau ngomong tentang janda mereka mendadak kolot! Kuno! Pecicilan! Norak! Kau tahukan norak?!”
“Tapi bu!” ibu langsung memotong kalimatku lagi, energinya telah kembali, ia seperti wanita tua yang bukan baru reda dari tangisan hebat. Mata keriputnya berubah bergelora menyemangatiku.
“Jadi janda itu enggak enak! Apalagi janda cerai! Apalagi muda, menarik seperti kamu! Orang membicarakan setengah berbisik “Janda!” Ibu memelankan suaranya menirukan. “Orang-orang memandang dengan sebelah mata, tersenyum dengan bibir setengahnya terangkat!”
“Belum lagi sama Key, kasihan dia, nanti perkembangannya terganggu, cucuku satu-satunya. Hanya kamu harapan ibu satu-satunya yang bisa lebih banyak lagi kasih ibu cucu! Ibu enggak mau kehilangan lagi, sudah cukup Yasmin! Ibu enggak mau kehilangan kamu, juga Key!
“Yasmin….!”
Ibu sungguh luar biasa, dalam waktu yang hampir bersamaan ia bisa menjadi wanita tua penuh semangat. Juga wanita tua yang mulai renta dan patut dikasihani. Akhirnya ia mengakhiri bicaranya yang panjang, menyelesaikan teori-teorinya tentang janda dan masyarakat. Tentang aku dan Key.
“Bu, mohon maaf saya enggak kasih tahu ibu, saya pikir Banna yang akan bicara!” aku meremas jemarinya yang keriput. Urat-uratnya menonjol keluar dan menjalar, menampakan usia dan asam garam kehidupan. Lika-liku hari, kesedihan, kesepian, juga kehampaan.
“Bu, bukannya saya enggak pikirin Key dan ibu, ini hasil pemikiiran saya yang panjang!” aku menunduk tak sanggup menatap mata tua yang sedang menyorot kearah wajahku.
“Bu mohon maaf saya enggak bisa searif ibu! sesabar ibu! Terlambat bu, talak itu sudah terucap! Kami telah bercerai! Resmi! Sudah melewati sidang ke tiga, semua sudah diputuskan!” Akhirnya aku lontarkan juga kisah itu, agar ibu segera sadar dari imajinasinya.
Mata tua itu kembali mencair, tapi tidak terdengar isakan dari rongga-rongganya, tangisan itu terlihat lebih pilu. Harapannya telah kandas, tidak bersisa.
“Key jatuh ke tangan saya, Banna tidak menuntut apa-apa! Juga tentang teknis pertemuannya dengan Key nanti, dia tidak membahasnya sama sekali! Tetapi bukan berarti dia tidak mencintai Key, Bu!” aku menggantung kalimatku, karena kadang terselip keraguan apakah Banna mencintai Key atau tidak.
“Dan Ibu enggak akan kehilangan saya, apalagi Key! Selamanya saya adalah menantu ibu dan Key akan tetap menjadi cucu ibu! Tidak akan ada yang berubah diantara kita, bu! Dikehidupan kita juga!”
Aku pandangi ibu mertuaku yang amat kusayangi ini lebih lekat. Meyakinkan dia bahwa ia masih bisa menggantungkan segala harapannya pada Key juga aku, meski aku sudah bukan lagi istri dari putranya.
Ibu membenamkan wajahnya pada bantal dipangkuanku, ia terisak lebih dalam. Dadanya sesak menahan luka, luka yang melebihi lukaku.
Ingin sekali aku merekam kejadian ini, dan melemparkannya dihadapan Banna. Agar ia tahu betapa orang tua ini, satu-satunya keluarga yang ia miliki, ibu yang telah memperkenalkan dia pada dunia ini amat terluka oleh ulahnya.
Banna anak yang tidak tahu balas budi, anak yang telah lupa jalan pulang, pria yang kusesali menjadi ayah dari putraku. Kaulah sumber malapetaka malam ini.



.:. Reuni Kecil .:.

Sayup-sayup aku dengar alunan suara Dave Mathew dari ruangan Erik, pria flamboyan teman SMAku. Pagi tadi ia mengundangku sambil setengah memaksa untuk datang kekantornya yang futuristik ini.
            Gadis seksi yang nyaris seperti barbie mengantarkanku menuju ruangan Erik. Kantor advertising Erik dihuni oleh orang-orang bercover pilihan, karyawan prianya ganteng-ganteng, stylis, dendy, wangi. Karyawan perempuannya enggak kalah seru, dalam ruangan sedingin freezer ini mereka tetap santai dengan tang top dan baju-baju yang kesempitan.
            Kantor yang aneh.
            Selamat buat Erik yang setiap hari disuguhi body-body keren, pastinya ia sudah kekenyangan menikmati.
            Terdengar suara wanita dari ruangan Erik, Barbie itu mengetuk pitunya dan mempersilahkanku masuk.
            “Haiii…..” suara Ria dan Erik gegap gempita menyambutku.
            “Hai Ri, kamu disuruh datang juga?” tanyaku sambil menyalami Ria.
            “Apa kabar Rik?” sapa ku, Erik mengangguk, raut wajahnya tidak seperti biasa. Ia tampak tidak terlalu ceria, ia seperti menatapku khawatir atau mungkin iba.
            “Sebenarnya yang menggagas pertemuan ini tuh si Ria!” kata Erik sambil menunjuk Ria.
            “O’ya? Kenapa minggu kemarin enggak bilang waktu aku telpon?”
            “Mmm…belom kepikiran aja!”
            “Mmmh..”
            Erik masih menatapku, lalu ia menghampiriku, menyalami dan menepuk punggungku. Seperti tanda selamat, tanda berduka cita atau penyemangat. “apa kabar?” sapanya.
            “Baik!” jawabku heran, tidak biasa Erik berlaku sopan dan sebaik ini meski pada kami para wanita. “Kantornya asyik ya, rik, keren, cool man!” Erik hanya merespon dengan senyuman tanggung.
            “Kalian pada kenapa sih, kok aku datang jadi mendadak pada diem?!!”
            “Enggak! biasa aja kok!” sanggah Ria.
            Erik menarik kursi dan duduk tepat dihadapanku, ia menyodorkan secangkir capucino dan tetap tidak beranjak. Aku semakin heran dengan jaraknya yang terlalu dekat.
            “Key apa kabar?” Tanya Erik.
            “Baik!”
            “si gagah?”
            Aku tahu yang Erik maksud adalah Banna, aku mengangkat bahuku bersamaan.
            “Ok!”
            “Kenapa bisa begitu?” Tanya Ria.
            Aku menarik napas dan menghembuskannya, kenapa seluruh dunia seperti hanya berisi tentang perceraianku, tidak adakah topik lain selain ini. Tidak tahukah mereka bahwa aku semakin sulit untuk menimbun luka yang masih terbuka ini.
            “Ada tema lain enggak?” tanyaku putus asa.
            “Ada! Nafa melahirkan!” jawab Ria. Seperti mengerti bahwa aku enggan membahas masalah perceraianku.
            “O’ya? Anak ke berapa?”
            “ke empat!”
            “hah…apa? Ke empat? Kapan dia melahirkan anak kedua sama ketiganya?” tanyaku kaget. “Anak pertamanya memang udah gede? Gimana bisa anak sekecil itu punya adik tiga orang?”
            “Yasmin! Please deh, kemana aja sih?” Tanya Erik.
            “Erik, emang kamu tahu Nafa punya tiga anak?”
            “Enggak!”
            “Nah, itu kenapa kamu enggak kaget?”
            “Ngapain mesti kaget? Dia punya suami kok!”
            “iya juga sih, tapi kan! Mm…mmh..empat gitu lho! Kita negok yu!”
            “Iya ayo! Justru karena itu aku undang kalian, untuk menggalang dana!” jelas Ria.
            “Menggalang dana? Maksud kamu buat Nafa?”
            “Iya, Yas! Tadi Ria udah cerita kalau suaminya Nafa sekarang lagi nganggur! Keadaan Nafa lagi kekurangan, kasihan!”
            “O’ ya? ayo deh!”
            “Tunggu-tunggu…! Yasmin, kamu cerita dulu dong yang bagian kamu!” pinta Ria maksa.
            “Bagian yang mana?” tanyaku.
            “aduh jangan pura-pura deh!” desak Ria
            Erik menatapku tanpa komentar.
            “Yah…yah…aku udah cerai, baru sekitar satu bulan. Tapi udah mulai terbiasa. Jangan nanya kenapa, karena aku juga enggak akan jelasin. Terlalu rumit, ribet kalo diceritain!”
            “Key?”
            “Dia ikut sama aku,  karena Banna tidak terlalu memakasa!” aku menatap Ria  dan Erik bergantian. “I am Confidence, Now!” jawabku dengan senyum mengembang.

            Tidak menunggu lama, kami bertiga telah meluncur menuju ke rumah Nafa. Alamatnya cukup terpencil. Perjalanan ke luar kota, melewati perbukitan yang tandus, dari kejauhan berwarna kecoklatan. Mungkin hanya ilalang kering yang tumbuh di sana karena pohon-pohon hijau telah habis digunduli.
            Kami terus berkelok menelusuri lereng-lereng terjal, yang ditempeli bongkahan batu-batu besar. Lalu pemandangan berganti jadi pesawahan, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah sawah.
            Nafa sungguh luar biasa, seorang gadis kota yang rela menanggalkan seluruh atributnya demi keluarga yang tengah ia bangun dengan pria pilihannya. Pria kebanggaannya, si bintang basket tapi berotak kosong.
            Suatu hari Ria pernah mendebat Nafa tentang lelaki pilihannya, Ria menjuluki cinta Nafa dengan sebutan Cinta tidak realistis.
            Nafa yang anak seorang dosen terpandang tiba-tiba minta menikah dengan Anton, lelaki yang hanya popular dilapangan basket. Seluruh indra perasa Nafa telah tercemar oleh cinta buta, setiap saran dari siapapun tetap mental. Nafa tetap kukuh pada pendiriannya. Dan menyampaikan pesan diplomatisnya kepada kami, “Justru inilah yang disebut cinta yang realistis. Cinta yang benar-benar nyata terlihat dan terasa”.
            Mulai saat itu kami mendukungnya, juga Erik yang sebenarnya benci setengah mati kepada Anton yang ia kenal sangat so’ tahu, play boy tapi bodoh. Saat itu Erik berkata tidak kalah serius dari yang disampaikan oleh Nafa, “asal kamu mau bertanggung jawab terhadap pilihanmu, kita pasti selalu dukung.”
            Sementara saat itu aku tidak berpesan apapun kepada Nafa, karena ternyata dikemudian hari aku mengalami kenaifan cinta yang sama hebatnya. Tetapi aku lebih pengecut, kini aku telah menyerah kalah, sementara Nafa masih kuat bertahan.
            Setelah tiba di tempat tujuan, kami masih dibuat repot karena harus keluar masuk gang. Alamat yang didapat Ria sama sekali salah, melesat jauh dari sasaran.
            “Kamu tahu dari mana sih Ri, kalau Nafa tinggal di Lost World macam gini!?” Tanya Erik
            “Dari Nanda sepupunya Nafa!” Jawab Ria merasa bersalah. “ Tapi kayanya dia juga enggak tahu-tahu banget!”
            “Enggak tahu-tahu banget!” jawab Erik dan aku bersamaan.
            “Tapi kan ini emang kampungnya si Anton” jawab Ria membela diri.
            “Ri, kecamatan ini tuh luas, mana bisa kita nyari orang kalau alamatnya salah. Trus Cuma berbekal nama ama keyakinan doang, kalau ini tuh kampunya Anton!”
            “Kita telusuri sekali lagi alamatnya yuk! Siapa tahu ketemu!”
            Erik menyorongkan mulutnya.           
            “Atau ke balai desa aja, nanyain ada warga namanya Anton enggak?” usulku. Tetapi tidak ada satupun dari mereka yang merespon. Erik memilih kembali ke alamat yang tadi kita kunjungi.
            “Ok, Girls! Kalau kita mau melajutkan pencarian, kita harus berpencar! Tanya ke orang-orang yang kita temuin!” perintah Erik.
            “Disini?! Dikampung ini?!” sela Ria sambil menggaruk-garuk tangan kirinya. “Belum turun aja, aku udah gatel!
            “Deueu..hhh segitunya! Orang kota!” ejekku
            “Tapi kampungan!” Erik menambahkan.
            Akhirnya kami berpencar, pusat kembali adalah tempat dimana mobil Erik diparkir. Erik ke arah depan mobil, aku ke samping kiri, dan Ria berjalan dari arah belakang mobil.
            Aku masuki gang kecil, jalan setapak dengan tanah belah-belah. Rumah-rumah dari bilik bambu, kecil, beratap rendah. beberapa rumah beratap daun kelapa. Anak-anak kecil berkeliaran, berbaju kusam, dengan daki yang melingkar dipergelangan tangan dan leher mereka.
            Anak-anak itu memandangku aneh, entah takjub atau mungkin takut. Mereka mengikutiku dari jauh. aku sapa mereka, malah makin menjauh. Aku diamkan, mereka malah semakin mendekat.
            Seorang wanita tua berpapasan denganku.
            “Punten bu! Bade tumaros! Dupi uninga anu namina pak Anton? Nami istrina Nafa, gaduh putra opat?[1]
           Wanita tua itu mengangguk-angguk lalu menggeleng, tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.
            Aku bertanya pada anak muda berdandanan punkers, ia menggeleng. Bapak tua dengan setumpuk kayu bakar dibahunya, juga menggeleng.
            Kemudian aku menemui seorang ibu yang sedang menyuapi anak dalam gendongannya.
            “Punten bu! Mau nanya! Tahu rumahnya pak Anton enggak? Istrinya namanya Nafa! Dari Bandung!” dahi ibu muda itu berkerut.
            “Rt berapa teh?”
            “Mmh… tahunya Cuma jalan Cipacing!”
            “Jalan Cipacing teh lega, panjang dari gapura sampai pemandian air panas!” jawabnya cempreng.
            “Kalau orang Bandung tinggal di sini?”
            Kembali ibu muda itu menggeleng. Entah dia orang keberapa yang aku temui. Hpku belum juga berdering, berarti Ria dan Erikpun belum mendapatkan hasil yang berarti.
            Sekumpulan ibu-ibu, tengah duduk di teras sebuah rumah bilik, rumah yang lebih luas dibanding yang lainnya. Mereka tengah memasang manik-manik pada baju yang sedang mereka pegang. Saling mengobrol dan berbisik ketika aku datang. Salah satu dari mereka berdiri menghampiri.
            “Assalamu’alaikum, punten bu mengganggu!”
            “Kumsalam, mangga! Enggak apa-apa neng! Ada perlu apa?” Tanyanya ramah.
            “Numpang Tanya bu! Barangkali tahu rumahnya pak Anton, istrinya namanya Nafa! Dari Bandung!”
            Ibu itu mulai berpikir, “mmhh…ke’ sebentar! Mangga atuh neng, di dalem aja! Panas!” katanya mempersilahkan.
            “Ceu, aya nu apal[2] pak Anton, istrinya Nafa dari Bandung!”  tanyanya pada ibu-ibu yang lain. Beberapa menjawab dengan menggeleng, beberapa mulai berpikir, mengingat-ingat.
            “Dari Bandung!” ujar si ibu berbaju biru Oskadon.
            “Iya!” jawabku mantap.
            “Alamatnya neng?” tanyanya.
            “saya Cuma tahu dia tinggal di Jalan Cipacing aja bu!”
            “Oh…!”
            “Tah, iya. Nanyanya ka Ceu Atik, kan bu Rt! Pasti tahu nama warga lebih banyak!” kata wanita yang pertama mempersilahkanku.
            “Kalau namanya sih ibu teh enggak gitu apal neng! Tapi kalau yang dari Bandung se Rw sini, sejalan Cipacing! Yang ibu tahu mah, Cuma ada tiga orang! Pak Ono, Mamah Sarah, Sama ibu Khotimah!”
            “Sekitar usia berapaan bu?”
            “Kalau pak Ono sih asli orang sini Cuma lama di Bandung! Pas udah pensiun dia pindah ke mari!” jelas bukan pikirku.
            “Kalau mamah Sarah, baru tinggal sekitar dua apa tiga tahunan di sini! Umur berapa ya? Da waktu ngeliat di pasar teh, dia lagi hamil besar. Masih muda da, neng!” mungkin itu Nafa.
            “Kalau Haji Khotimah mah, bidan yang pinggir jalan! Seusia saya lah neng!” pasti bukan, karena Nafa enggak pernah sekolah kebidanan.
            “kalau yang mamah sarah itu, rumahnya dimana bu?”
            “Di bawah, di ujung. Deket kali!”
            “Jalannya kemana bu?”
            “Apa iya yang itu neng?”
            “Mmh….Mungkin!”
            “Kalo iya, biar saya antar!”
“Enggak usah bu!”
“Enggak apa-apa neg! kasian udah jauh-jauh, mari!” jawabnya sambil meletakan pekerjaan memayetnya.
Kearifan, keramahan Indonesia pada aslinya. Keluguan dan kepercayaan. Sangat hangat aku rasakan dari ibu setengah baya berbaju biru oskadon ini.  Bukan main jauhnya, jarak ke arah rumah yang ia tunjukan itu. Melewati ladang jagung, menyusuri membelah ladang mentimun, melewati jembatan berair jernih mengalir. Ia dengan rela meninggalkan pekerjaannya, mengantarkanku berpanas-panasan.
Di tengah jalan si ibu yang mengantarkanku bercerita tentang ciri-ciri mamah Sarah yang ia maksud. Semakin ceritanya mendetil, semakin terdengar mirip. Sungguh luar biasa, dengan jarak sejauh ini mereka bisa saling mengenal, atau minimal pernah tahu.  
Jika benar orang yang aku tuju adalah Nafa, empat ibu jari yang aku miliki akan aku acungkan untuk dia. Nafa telah terbebas dari hawa nafsu peradaban, ia mengasingkan diri dan keluarganya di tengah ladang. Di atap sungai. Ia tanggalkan jiwanya yang selalu bergelora, ia hapus impiannya jadi seoarng diplomat yang sering ia gaungkan. Apa gerangan yang membuatnya bersikap sangat sederhana seperti ini.
“Bu, kalu boleh tahu! kira-kira suaminya mamah Sarah ini, kerjanya apa ya?” Tanyaku.
“Mmmhh… enggak jelas ya! Tadinya sih di pasar, ada yang bilang ia pernah bertani kentang tapi gagal! Padahal orangnya mantes, bersih! Enggak keliatan kaya orang desa, kaya orang…mmhh..” si ibu menghentikan kalimatanya, mungkin yang hendak ia sampaikan, enggak kelihatan kaya orang susah. Tapi tidak sampai hati ia menyebutkannya.
Dari kejauhan, aku melihat empat rumah yeng berdampingan, si ibu menujukkan rumah yang pertama. Dan menyebutkan itu adalah rumah mamah Sarah. Rumah yang setengah dari tembok, dan setengahnya dari bilik bambu bercat putih. Dibelakangnya terdapat kandang kambing yang cukup lebar, mungkin memuat empat kambing sekaligus.

            Lelaki jangkung, berambut gondrong, semakin terlihat kurus karena mengenakan celana pendek yang menampakan betis-betisnya. Anak usia satu tahun dalam gendongannya, ia berjalan menyusuri samping rumahnya. Dari cara jalan, dari hidungnya yang mancung aku dapat mengenali kalau itu adalah Anton, meski ia telah banyak berubah. Lebih hitam, lebih kucel, lebih sayu, lebih sangat tidak menarik dibanding dulu.
            Aku langsung menelpon Ria dan Erik, dan menyuruh mereka kembali ke mobil.
            “Punten!” sapa si ibu.
            “Mangga” Jawab Anton yang sedang berdiri di depan rumahnya.
            Anton menatapku dan si ibu bergantian.
            “eh, bu Rt! Mangga, ka lebet[3]!” sambutnya ramah. Anton masih belum mengenaliku, aku juga belum membuka suara. Selain karena telah yakin bahwa inilah tempat yang aku tuju, aku juga masih syok pada kenyataan yang ada dihadapanku.
            Aku belum berjumpa dengan Nafa, tapi imajinasiku sudah mereka-reka. Bahwa Nafa juga telah jauh berubah.
            “Mamahnya Sarah ada?” Tanya si ibu.
            “Ada, lagi di dapur!”
            “Sebentar saya panggil!” katanya sambil berlalu.
            Dua anak perempuan memasuki rumah dengan kaki penuh tanah, yang satu dipanggil teteh dan satunya lagi di panggil Sarah.
            Seorang wanita berbalut sarung muncul dari ruangan yang gelap, mungkin itu yang tadi dikatakan dapur. Jelas itulah perempuan yang sedang aku cari, yang sangat aku kenal dengan baik. Penampilan Nafa telah jauh dari rekaan perkiraanku, dia seperti sepuluh tahun lebih tua. Kantung matanya bergelayut kehitaman, ujung mata dan sekitar hidungnya telah penuh kerutan, seluruh wajahnya dipenuhi bekas jerawat yang menghitam.
            Perlahan aku bangkit, menampakan diri. Nafa menghentikan langkahnya. Perutnya telah kempes, ia telah melahirkan. Anton berdiri dibelakangnya, masih dengan bocah beringus dalam gendongannya.
            “Yasmin!” panggilnya lirih. Aku bingung harus menjawab apa, aku hanya merespon dengan senyuman. Nafa tidak kunjung mendekat, akupun tidak juga melangkah. Ia menatapku lekat, matanya mulai mengambang, lalu tumpah.
            Akhirnya aku mendekat, memeluk dan memapahnya ke atas kursi. Nafa terus menangis sesegukan, melepas rindu yang menggebu. Akupun turut luruh tak terbendung, hari ini menjadi sore yang basah oleh air mata rindu.
            “Sorry, ada Ria sama Erik di jalan, dia lagi nunggu!” kataku mengawali kisah yang akan panjang terurai.
            Nafa langsung melihat ke arah suaminya, yang sedari tadi masih bungkam. “dijemput aja pak!” pinta Nafa. Anton mengangguk.
            “parkir tepat di depan gang kecil, mobil Crv warna coklat metalik!” jelasku. Tanpa berkata sepatahpun Anton langsung ke luar.
            Si ibu yang mengantarku juga turut larut. Air matanya menggenang, tapi senyumnya mengembang. Ia menikmati adegan haru.
            “Sudah ya neng, udah ketemu! Ibu pamit!” selanya.
            “oh, ya! Aduh ibu terima kasih banyak! Sebentar bu! Aku merogoh tasku, dan melipat selembar uang untuk aku selipkan kedalam genggamannya, tapi si ibu itu menolak habis-habisan. Ia menyembunyikan tangannya agar aku tidak bisa menyelipkan uang tersebut. Ia lalu setengah berlari ke luar, kemudian aku kejar. Si ibu berbisik pelan.
            “Jangan neng! jangan! lebih baik eneng kasih ke anak-anaknya a Toni aja! Kasihan! Saya mah enggak bisa ngasih apa-apa! Cuma ini aja yang bisa saya lakukan! Mangga neng. Hatur nuhun!” dan si ibupun berlalu. Aku termangu dengan bisikannya.
            Mungkin kesulitan Anton dan Nafa telah tersebar ke seluruh kampung, hingga si ibu yang jarak rumahnya berjauhan saja tahu kesulitan yang di alami mereka.
            “Yasmin!” panggil Nafa serak.
            Aku mendekat dan duduk di sampingnya. “Bayinya mana?”
            “Tidur!”
            “Anton, di sini dipanggil a Toni ya? Dan kamu di sebut mamah Sarah?” tanyaku basa basi.
            “iya!”
            “Sejak kapan kamu tinggal di sini Fa?”
            “sejak Sarah lima bulan, sekarang dia udah tiga tahun!”
            Nafa yang cerdas, bahkan ia sudah lupa bagaimana caranya menghitung waktu. Ia menganalogikan dengan usia putrinya. Mungkin jika di tanya berapa umurmu, maka Nafa akan menjawab ia seumur dengan pohon palem di depan rumahnya.
            “Anakmu udah berapa?”
            “Empat, itu yang pertama!” ia menunjuk anak perempuan yang tadi dipanggil teteh. “Ifa, ayo salam!” si anak membenamkan wajahnya dipunggung adiknya, malu-malu. “Itu yang kedua, Sarah!” tanpa di minta Sarah menghampiriku dan menyalami, dia lebih berani dan lebih manis dibanding kakaknya. “yang ketiga laki-laki, itu tadi yang di bawa sama Anton!”
            “Namanya Deli!” sela Sarah cadel.
            “Deri!” Nafa membetulkan.
            “yang keempat, perempuan lagi. namanya aku namain nama kamu Yas! Enggak taunya kamu dateng!” kata Nafa sambil menunduk.
            “O’ya!” komentarku seru. Gaya bicara Nafa lebih pelan, lebih malu-malu dibanding dulu. Bukan hanya penampilannya yang berubah, tetapi sikapnyapun turut berubah.
            “Enggak KB fa? sengaja?” tanyaku
            “ Wah, ngapain sengaja Yas, orang kita hidupnya senin-kemis begini!”
            “Lantas?”
            Nafa terdiam sesaat, matanya menerawang, menyisir langit-langit rumahnya. “ternyata aku punya kelainan jantung, Yas!
            “Hah, jantung?” tanyaku kaget. Nafa mengangguk pelan.
“Aku enggak boleh KB, mau suntik, mau pil, apalagi pasang! Semua enggak boleh! Jadi ya begini, kebobolan terus!”
“Kok’ bisa? Sejak kapan? Ko’ bisa setenang ini sih, fa? Disinikan jauh dari rumah sakit, kalau ada apa-apa gimana?”
“Pasrah!”
“Ya enggak bisa begitu dong fa! Harus ada usaha!” kataku nyerocos.
“Pernah ada usaha tapi belum berhasil!” jawabnya tenang. Pengalaman hidup Nafa lebih luas dibanding aku, ia sudah terbiasa dengan kesulitan ekonomi dan kesakitan tubuhnya. Hingga ia bisa bicara tenang, berpikir lebih luwes dalam menghadapi perkara hidup dan mati seperti ini.
“Aku lagi titirah[4] di sini! Tapi jadi keenakan!”
Apa enaknya hidup terpencil seperti ini, jauh dari informasi dan perkembangan.
            “Kenapa sampe ke sini Fa? Kenapa enggak pernah kasih kabar ke kita?”
            Nafa mengatupkan telapak tangannya yang berkeringat, lalu menggenggam lenganku.
            “Banyak banget kejadian yang beruntun, yas! Enggak berhenti-berenti! Akhirnya kami pindah! Ceritanya mulai hidup baru, tapi tiap memulai gagal melulu!” kisahnya.
            “Anton sempat kerja, kantoran, rapih kaya orang-orang! Tapi ya dasar enggak bisa hidup enak! Anton dituduh menggelapkan uang kantor, sekitar tiga puluh jutaan, benar atau enggaknya aku enggak yakin! hasilnya sih enggak kelihatan, boro-boro kerasa sama kita! Tapi bukti-bukti sangat kuat!”
            “Karena keseringan ribut aku malas mendebat, malas cek-cok! Ibuku minjemin sertifikat tanah warisan bapak, untuk ganti rugi ke kantornya Anton! adik-adikku marah! Kuping ini rasanya panas, akhirnya kami pindah! Sekitaran sini semuanya saudara Anton, tapi ya hidupnya semua serba pas-pasan.”
            “Inilah yang namanya bersama-sama dalam kesempitan Yas!” Nafa menutup kisahnya.
            “Kamu sabar banget, fa! Kuat banget! Kamu enggak…?” aku tidak meneruskan kata-kataku.
            “Dalam berumah tangga itu ada bahagia atau menderita! Kalau bahagia engga usah di Tanya harus bagaimana!”
            “Tapi kalau menderita, pilihannya juga ada dua! Tinggal kuat atau menyerah!”
            “Kalau mau kuat ya tinggal sabar, kalau mau menyerah yang tinggal sudah!” Nafa belum kehilangan kemampuannya berkata-kata. Bahkan isinya lebih sarat makna. Kata-kata nafa seperti menusukku hingga ke ulu hati. Ia seperti mengingatkanku, padahal belum terucap sedikitpun kisahku kepadanya.
            Semua yang disampaikan Nafa memang benar adanya. Teorinya memang seperti itu, tapi menjalaninya sukar bukan main.
Sabar itu fluktuatif, kuat itu tentative. Kalau sudah terbenam dalam hati kita, ketidak sanggupan menerima, sekuat apapun berusaha kokoh, jika tidak ada kerja sama di kedua belah pihak, Aku yakin semua hanya akan berujung percuma.
Dari pada membuang waktu, menyerahkan hati digerogoti kekesalan maka aku yakin langkahku tidak salah. Aku dan nafa mungkin berdiri dalam pondasi yang serupa tetapi cara kita membangunlah yang berbeda.
Aku memilih membangun pintu, atap dan bangunan yang berlainan dengan Banna, sementara Nafa dan Anton tertatih-tatih membangun istana mereka bersama.
Aku tidak menyesali keputusanku bercerai, tetapi ada sakit yang mendesak diselubung hatiku ketika menyadari aku tak sanggup sekuat Nafa.

            Ria dan Erik tiba setelah nafa selesai bercerita, Ria terlihat lebih kaget dariku. Sementara Erik terlihat biasa saja, dia mampu menyembunyikan perasaannya. Erik tidak terlalu banyak bicara, sementara Ria merepet terus menerus.
            Tetapi bukan Ria namanya jika tidak membawa keributan, tabiatnya yang senang ngobrol dan supel langsung mencairkan suasana yang semula terbangun kaku.
            Lubang-lubang rindu itu telah tersiram, meluncur kisah-kisah masa lalu yang menggembirakan sekaligus memalukan. Kami seperti lupa sedang berada di belahan bumi yang sempat terasa asing.
            Nafa, Anton, dan juga anak-anaknya terlupakan oleh himpitan yang mendera. Mereka tertawa lepas, melahap makanan yang dibawa oleh Ria. Bercanda, bersuka ria seperti tidak pernah tertawa puluhan tahun. Seperti baru menemukan lagi nikmatnya tertawa.
            Akupun baru tersadar, ini adalah tawaku yang pertama setelah sidang ketiga itu. Hanya bersama Key aku sempat gembira dan tersenyum. Tetapi sampai tertawa lepas, baru kali ini kembali aku rasakan.
Diam-diam Erik selalu mencuri pandang kearahku, dan kenapa perasaanku menjadi berbeda. Seumur-umur kami beteman, tidak pernah Erik menatapku lebih dari lima detik. Dengan tatapan yang seperti memiliki makna.
Langsung aku tangkis tebakanku, menjadi single membuatku gede rasa. Erik hanya sedang gembira sepertiku.
            Sungguh nikmat rasanya gembira, melepas dahaga kehidupan. Menertawakan derita, memparodikan nestapa.
Nafa berbisik kepadaku. “aku takut sore ini adalah sore terakhir bagiku, karena aku takut jantungku berhenti berdetak saking bahagianya!”
            Lelucon nafa membuat bulu kudukku berdiri, sungguh ironis kata-katanya. Disaat kita sedang meluap-luap tertawa, Nafa malah mengingatkanku pada kematian.



.:.Mengemas Kisah Lama.:.

Hari sabtu yang mendung, selalu mengantarkan kemanjaan dan leha-leha yang nikmat. Kelopak mataku seperti digelayuti sepasang barbel, berat namun lezat.
            Bunyi gradag-grudung dari lantai atas membangunkan daun kupingku, selalu ada saja gangguan disela-sela kenikmatan. Entah apa yang dilakukan Key hingga menimbulkan bunyi risau seperti itu. Aku benamkan wajah, dan kututupi dengan bantal.
            “Mam, hari ini aku main bola!” teriak Key dari lantai atas. “Bajuku mana?”
            Heuummhh…..
            “Ya, dilemarimu dong!”
            “Enggak ada!”
            “Pake aja yang ada!”
            “Enggak bisa! Harus pake yang merah!”
            Dengan terpaksa aku jatuhkan kakiku dan beranjak mencari kaos bola Key.
            “Mam!”
            “Mmhh…!”
            “Hari ini aku main bola!”
            “Iyyya…!”
            “Mamih lupa lagi ya?!” intonasi bicaranya menuduh.
            Tuduhan itu membuatku kesal, kenapa pria sekecil itu selalu menyangka aku tidak memperhatikannya, peduli kepada keperluannya, kepentingannya, kemauannya. Tetapi sekaligus sedih, karena kenyataannya aku masih menempatkan kenyamanan tubuhku, hatiku, telingaku, bibirku, hidupku diatas kepentingannya.
            Key telah berdiri dibelakangku, lengkap dengan kaos bola berwarna merah. Dia mengujiku, membangunkanku dengan caranya yang…!
            “Waktunya tinggal lima menit, mam!”
            Aku langsung meraih cardigans dan kunci mobilku. Aku biarkan piyama polkadot jadi busanaku disabtu mendung ini.

            Lapangan sepak bola yang ditumbuhi beberapa helai rumput itu masih berembun, ketika kami tiba. Dari kejauhan noktah-noktah merah itu berlompatan, Key yang duduk disampingku sudah tidak sabar ingin segera tiba.
            “Tuh kan mam! Aku telat! Yang lain udah mulai pada lari!” omelnya kesal.
            Aku injak gas lebih dalam lagi, “iya! Iya! Tinggal sejengkal lagi tuan muda!”
            Aku injak rem perlahan, dan Key langsung berlari ke tengah lapangan. Tanpa pamit, dan memperdulikan tasnya yang berisi minuman.
            “Key!” teriakku. “Mamih tinggal ya!” teriakanku semakin kencang tapi ia tidak memperdulikan. “Ntar mamih jemput lagi! dua jam lagikan?”
            Key terus berlari, sedikitpun ia tidak menoleh kearah suaraku.
            Pria berjaket biru dari tengah lapangan, berlari kecil kearahku. Berkacamata dan agak sipit. Dia namapak seperti “Erik!” panggilku.
            “Hai!” sapanya.
            “Ngapain kamu di sini?”
            “Mau jogging! Ko’ enggak turun sih?” tanyanya.
            Aku melirik pada badanku yang tetap dibelakang kemudi. “Joging kok’ di tengah lapangan! Pake jaket lagi!”
            “Baru mau mulai!”
            “Mmh..!”
            “Ngantar Key, ya?” tanyanya. Aku mengangguk tajam.
            Aku memarkir mobilku di bawah pohon yang paling rindang. Erik berlari kecil mengikutiku.Aku menyandarkan badan dan menghembuskan napas.
            “Enggak turun Yas?” tanyanya lagi, ternyata isyarat yang tadi belum mempan di kepalanya.
            “Enggak lihat aku pake piyama!” jelasku dengan intonasi agak tinggi.
            “Ooh…”
            “Mesti nungguin Key sampe dua jam lagi! Mmh…” sambil mendorong sandaran kursiiku ke belakang.
            “Kalau mau pulang, pulang aja! Biar nanti Key aku yang antar!” Erik menawarkan.
            Berhasil, itu yang aku tunggu dari tadi. Sahabat yang satu ini selalu tahu apa yang aku maksud, tanpa harus bicara secara gamblang.
            “Emang kamu enggak ada acara?” tanyaku basa basi.
            “Enggak!”
            “Bener?”
            “Halah…! Udah sana pulang! Tidur sana!”
            “Tapi Keynya di sana” aku menunjuk ke arah lapangan.
            “Iya nanti dikasih tahu! tadi juga dia udah lihat aku kok!”
            Aku menyerahkan tas milik Key pada Erik. “sekalian titip ya!” kataku sambil tersenyum. “Ada minuman buat dia! Sorry ya! Buat kamu juga boleh!”
            Erik mengangguk. Aku putar mobilku, sambil melambaikan tangan padanya. “Eriik…!” teriakku. “Thanks ya!
            Erik melambai sambil tersenyum.

            Selera mataku untuk tidur telah menguap bersama asap knal pot. Aku membuat agar-agar coklat kesukaan Key, satu-satunya jenis kue yang aku kuasai. Lalu aku manfaatkan waktu luang untuk membereskan rumah.
Memisahkan barang-barang pribadi milik Banna. Mulai dari foto pernikahan kami, foto wisudanya, tali, matras, ransel dari yang kecil sampai yang paling besar. Dan semua property out doornya yang tidak aku kenal satu persatu.
Aku masukan semuanya ke dalam dus-dus besar, hingga mencapai enam buah dus. Aku dorong dengan susah payah satu persatu ke balik tangga. Karena aku tidak memiliki gudang khusus untuk perabotan yang tidak terpakai.
Mungkin suatu hari jika Banna telah memiliki tempat tinggal baru, akan aku paketkan semua barang miliknya. Saat ini tidak sampai hati aku mengirimkan ke rumah ibunya.
“Assalamu’alaikum!” teriak Key ketika memasuki rumah.
“Waalaikumsalam” jawabku. Wajahnya merah terbakar matahari, rambutnya basah dibanjiri keringat.
“Oom Eriknya mana?”
“Enggak mampir!”
“kenapa?”
“Lain kali aja, katanya!”
“Udah bilang terima kasih?”
“Udah dooong!”
Key memperhatikan ruang tengah tempat ia berada, tetapi tidak mengatakan apapun. Entah ia tidak sadar apa yang telah berkurang dari rumahnya. Atau kah ia tak perduli. Atau ia mencoba menghiburku, dengan ketidak peduliannya.



.:. Single .:.

Satu tahun telah berlalu sejak tanggal 3 September 2005, aku tidak tahu pasti, apakah banyak orang yang tahu statusku sekarang atau tidak. Karena aku jarang bergaul, juga karena Banna sering tidak di rumah. Jadi tidak banyak perubahan yang terlihat.
 Bahkan tetangga yang dindingnya menempel dengan rumahkupun seperti belum mengetahuinya. Karena jika kami kebetulan berjumpa, dia masih memanggilku dengan sebutan Bu Banna.
Tetapi kenapa akhir-akhir ini aku merasa tidak enak jika ada seseorang menyebut kata janda. Sebenarnya apa salahnya dengan sebutan janda, dan apa salahnya dengan menjadi janda?
            Aku membuat peraturan untuk diriku sendiri dan mendapat dukungan penuh dari Key. Aku dan Key tidak boleh menerima tamu lelaki dewasa di rumah, kecuali adik dan ayahku. Di luar rumahpun jika tidak terlalu penting pertemuan seperti itu harus dibatasi
Agar orang-orang tidak mempunyai celah untuk menggosip dan membicarakanku. Lagi-lagi aku menjadi gede rasa setelah menjadi single kembali.
            Aku benar-benar telah termakan omongan ibu dan Tiana, bahwa menjadi janda itu adalah pusat pembicaraan, pusat perhatian. Baik atau buruk akan tetap dibicarakan.
            Aku selalu curiga pada setiap orang-orang yang berkumpul. Padahal belum tentu mereka membicarakanku, mengenalku atau tahu statusku.
Aku serasa ditelanjangi oleh ketakutanku sendiri. Setiap sepatu, baju atau rok yang aku kenakan serasa jadi pusat perbincangan. Setiap mata seperti mendelik ke arahku, setiap bibir seperti terangkat setengah ketika aku melintas.
Kegeeranku adalah bentuk lain dari ketidak percayadirianku. Hal ini yang paling sulit pulih dibanding luka akibat perceraian itu sendiri.
Ketika Banna mengatakan sepakat berpisah dalam kalimat singkatnya tempo hari. Tanpa ada perdebatan, tanpa ada kesepakatan, tanpa ada usaha untuk memulihkan hubungan kembali, tidak ada usaha untuk mempertahankan. Tanpa ada tuntutan apapun. Rasa percaya diriku anjlok, hancur berantakan. merasa sepele, tak bergarga dan tidak dihargai.
Keberadaanku tidak dipedulikan, apalagi di perhitungkan. Jauh dari dibutuhkan. Mungkin aku tidak menarik lagi, dibanding perempuan-perempuan pendaki yang ada disekelilingnya.
Kenapa seorang janda selalu tampak lebih gaya dibanding ketika ia masih bersuami?? jelas bukan semata untuk menarik kumbang yang baru. Tetapi lebih karena ketakutan, kekhawatiran dan ketidak percayadiarian seperti yang aku alami. Jika kemudian ada lelaki lain yang tertarik itu hanyalah efek dari kesendirian dan perubahan gaya yang demonstratif.



.:. Melerai Niat .:.

Erik menyelinap masuk ke kantorku, hanya karena assisten desainer ditempatku bekerja adalah teman kuliahnya. Ia mengetuk ruangan aku dan Tiana tanpa di lihat Bu Tini, sekretaris kantor yang jutek.
 Tiana mempersilahkan ketika bunyi ketukan terdengar, Wajah Erik menyembul dari balik pintu.
“Hai…” sapa Erik.
Tiana langsung membelalakan mata, melihat pria metroseksual berkaca mata dihadapannya.
“Hallo rik!” jawabku, Tiana semakin terbelalak.
“Boleh masuk!” pinta Erik, aku dan Tiana saling berpandangan. Tiana langsung menganggukan kepalanya seperti burung pelatuk.
Erik duduk dihadapanku sementara aku masih berdiri, “ ada apa, bung! Tumben!”
“Ada perlu sama Dendi, sekalian mampir aja! Lagian kan udah jam pulang! Yuk balik!” ajaknya.
“Oh, ya! Kenalin ini Tiana! My Roomate” sambil menunjuk Tiana. “ Ti, ini Erik! Temen kepaksa! Sejak SMA!” sambil menunjuk Erik. Yang ditunjuk hanya mengangkat kedua alisnya bersamaan, sambil mengulurkan tangan pada Tiana.
“Erik! Cinta SMAnya Yasmin!”
“Whuuu…uuuu….enggak janji deh!” omelku.
Tiana merespon dengan senyuman termanis, untuk pria tertampan yang ia temui hari ini, itu pasti yang sedang dipikirkannya.
“Trus, itu apa yang di tangan?” Tanyaku
“Oh ini! Kaktus kecil, lucu! Berduri tapi cantik!” ujarnya enteng. Sambil meletakkannya di atas mejaku
Tiana membulatkan matanya. Aku memanyunkan bibir.
“Dari mana?”
“Souvenir ulang tahun dari radio perempuan!”
Lagu lama, lidah buaya. Meski yang ku tahu Erik hanya pernah pacaran satu kali di SMA, dan bertahan hingga semester tiga kuliahnya. Tapi aku yakin lelaki setengah Melayu, seperempat Jawa dan seperempatnya lagi Jepang ini sering membual pada banyak wanita. Dan aku memperkirakan Tiana tengah terhipnotis oleh kata-kata Erik barusan.
“Yuk balik! Si keor masih dibengkelkan!” ajak Erik sekaligus mengejek.
“Si keor! Keor-keor juga mobil! Gitu-gitu juga banyak jasanya tau!” rutukku kesal. “aku biasa nebeng motornya Tiana! kasian dia, ntar pulang sendiri!” kataku sambil menunjuk Tiana. Dan membereskan berkas yang berserakan di atas meja.
“Kali-kali enggak dapet penumpang, enggak apa-apakan Ti! Enggak kejar setoran ini ya!”
“he..eh!”
“Atau kita bertiga aja Ti! Mobil kamu ditinggal di sini!” ajakku pada Tiana.
“Ngaco! besok aku pergi pake apa? Naik cacing!”
“Ya kan bisa naik angkot!”
“Males banget! Kopo, pagi-pagi, Macet! Angkotnya ngetem!”
Erik memang hanya sahabatku, tetapi bagaimanapun juga ia adalah lelaki dewasa. Aku tidak mau melanggar kesepakatan yang telah aku buat dengan diriku sendiri. Karena mungkin Erik akan singgah meski hanya sebentar.
“Yuk!” Erik mulai tidak sabar.
“Bentar dong Bro!”
Tiana menautkan alisnya, entah isarat apa. Aku gelengkan kepalaku, bisa pertanda tidak atau tidak tahu. Tiana lalu mengangguk, dan entah isarat apalagi.
“Ya udah yuk!” ajakku pada Erik.
Aku meletakan kaktus mini di meja kerjaku.
“Ti, duluan ya! Enggak apa-apakan!”
“Enggak apa-apa lagi! santai aja!” sapa Tiana, lagi-lagi diakhiri senyuman perpisahan pada Erik.
“Tiana, duluan ya! See you!” pamit Erik.
Aku seperti melihat kutub yang berlawanan pada Tiana dan Erik. Kenapa baru sadar sekarang kalau aku mempunyai dua sahabat yang jomblo, dan tidak pernah terpikir untuk memperkenalkan mereka.
Sepertinya Tiana pasangan yang pas untuk Erik. Meskipun Tiana kadang-kadang bawel, tapi mudah-mudahan bisa mengimbangi Erik yang kadang so’ cool.
Ok. Perjuanganku untuk mempersatukan mereka akan dimulai sore ini kepada calon mempelai pria, dan besok pagi pada calon mempelai wanita.

Lux, mahal, memang erat kaitannya dengan kenyamanan. Erik tidak sepenuhnya salah tentang julukan si keornya. Tentu saja kenyamanan CR-V seri terbaru seperti bulan dan matahari jika di bandingkan Citroen 88 milikku. Bahkan jauh lebih nyaman dibanding Range-Rover kebanggaan Banna.
Ah! Kenapa pikiranku melayang-layang membandingkan mobil Erik, mobil Banna dan mobilku? Mungkin karena desiran dan dentaman lembut dari mobil yang sedang aku tumpangi ini.
“Mau jalan dulu ke mana, bu?” Tanya Erik.
“enggak! mau langsung pulang!”
“Ok!” Erik menancap gas lebih dalam.
            Aku memutar-mutar isi kepalaku, mencari cara agar Erik tidak mengantar sampai ke rumah. Bahkan tidak sampai ke komplek.
            Erik terus melaju tanpa ragu, meski sesekali ia menatapku yang sedikit gelisah.
            “kamu pengen pipis, ya?” tanyanya aneh.
            “enggak!” jawabku ketus. “emang napa?”
            “duduknya kaya yang lagi ambeyen!” jawab Erik asal. “Orang kencan pertama aja enggak gitu-gitu amat!”
            “kencan pertama! Umur segini masih ngebahas kencan pertama bo’!” kataku memulai pendekatan untuk Tiana.
            “Oh ya Rik! Tiana itu masih single lho!”
            “Oh, ya!”
            “Iya! Anaknya asik lagi! seru! Pinter lho, dia itu! Umurnya di bawah aku setahun. Berarti di bawah kamu dua tahun!”
            “Mmh…”
            “Mojang Priangan asli!”
            “Oh!”
            “Kok’ ah, oh,ah, oh doang!”
            “Emang mesti gimana?”
            “Nanya kek! Rumahnya Tiana di mana? Kerjanya bagian apa? Sukanya apa?”
            “Diiih! Emang aku apanya? Kaya sensus aja bawel! Nanya-nanya!”
            Jawaban Erik semakin ketus, mungkin ia gengsi untuk dijodohkan atau ia merasa masih mampu untuk berusaha sendiri.
            “Yah, enggak usah malu-malu gitu dong rik!santai aja, man!”
            Erik bungkam cukup lama. Seiring lagu Iwan Fals yang mendebam-debam.
            “Jadi mau kenal lebih dekat enggak?”
            “sama siapa?”
            “Ya sama Tiana! Siapa lagi, emang kita lagi ngomongain mas Parjo?”
            “Enggak!” jawab Erik ketus.
            “Belum dicoba!”
            “Ya, orang enggak mau! Maksa!”
            Selain gengsian, Erik terkadang keras kepala.
            “Kamu kan udah tua, Rik!”
            “Ya, emang!”
            “Trus kapan mau nikah?”
            “ya kapan-kapan!”
            “Ko’ kapan-kapan?”
            “Ya, kapan kamu mau terima aku, kapan Key bisa terima aku jadi ayahnya. Jadi ayah buat adik-adiknya?”
            Oksigen seperti berhenti mengalir, paru-paruku seperti berhenti bekerja. Beruntung penglihatanku tidak menghitam. Tapi mulai kunang-kunang. Teganya Erik memojokan aku dengan kalimatnya yang gila.
            Dulu, aku memang pernah mengharapkan Banna atau siapapun yang kelak menjadi suamiku adalah lelaki rapih, perlente, smart. Sedikit nyerempet mirip Erik. Tetapi bukan Erik, bermimpipun aku enggak pernah. Meski ia lima kali lebih ganteng dan lebih perhatian dibanding Banna. Syit! Banna, Banna lagi yang melintas dikepalaku. Kenapa manusia Tarzan itu masih terus bercokol di sisi sensitive hatiku.
            “See! Kamu sendiri yang maksa! Aku jadi Ngomong disaat yang enggak tepat! Di mobil! Sambil macet! Depan pabrik kerupuk!” rutuknya kesal. “Kaget ya, Yas! Sorry!” Erik memicingkan matanya yang sipit.
            Kenapa harus Erik yang menyatakan niat seperti itu, kenapa harus laki-laki yang telah sangat lama aku kenal, yang mimpi basah pertamanya saja aku tahu, yang cinta pertamanya saja dia cerita. Yang tidak malu menangis tersedu-sedu ketika ditinggal meninggal oleh neneknya.
Kenapa tidak pria yang baru aku kenal saja. Karena jika aku mendapatkan dia, aku pasti kehilangan sahabat seperti dia. Dan aku tidak mau itu.
            “Tapi pertanyaan tadi serius! Swear! Dan harus kamu jawab! Juga Key, dia harus kasih pendapat! Dan justru jawaban dari dia yang paling penting!”
            Kenapa jawaban dari Key yang paling penting, kenapa tidak jawaban dari aku sendiri. Karena yang akan menjalani semuanya adalah aku! Memang bersama Key, pastinya! Tetapi aku benamkan saja jawabanku tadi. Lidahku masih kering, mulutku masih kaku. Virus shock itu masih mencekik leherku.
            Selama ini aku berfikir kebaikan Erik pada kami, terutama pada Key adalah jujur, tulus, ikhlas. Tetapi dengan adanya ini Erik seperti menagih pamrih dari kebaikan yang selama ini ia tanam.
            Seketika aku langsung menunjuk Alfamart didepanku.
            “Kenapa?” Tanya Erik.
            “Mau beli susu dulu!”
            Erik menghentikan mobilnya, dan mencari tempat untuk parkir.
“Kamu duluan aja, enggak usah di tunggu!”
“Enggak apa-apa, aku tunggu!”
“Enggak perlu!” aku membuka pintu mobil dan menurunkan kakiku.
“Kenapa?”
Aku menutup pintu mobil, semetara Erik masih memegang setirnya.
“Erik, aku enggak perlu di tunggu!” Wajah Erik menjadi kaku, ia terdiam dengan bibir terkatup rapat.
“Nanti aku telpon!” ucapnya ketus, sambil langsung meninggalkanku.
Aku memasuki Alfamart, dan menyaksikan mobilnya terus melaju.
Awan-awan senja hari bergelayut rendah, menemani perjalanan pulang dengan suasana hati yang kacau. Kenapa aku menjadi sekacau ini hanya Karena ada lelaki yang menyatakan suka.
Aku belum, tidak atau bahkan tidak akan pernah siap untuk menjalin sebuah hubungan. Bagiku cukup satu kali dan aku telah gagal. Tidak ada uji coba keduakalinya.
Pernikahan memang bukan try and error, uji coba atau lab fisika. Tetapi pengalaman yang lalu mengajarkan aku demikian.
Aku harus mengeraskan hati agar tidak terjebak melankolis dan so’romantis. Menjauhkan perasaan kesepian yang sejujurnya mulai aku rasakan.
Membangun hidup bersama Banna adalah plan A hidupku, dengan serentetan plan B hingga Z yang muluk-muluk sebagai pasangan muda. Tetapi ternyata belum sampai pada plan F, semua harus di akhiri. Misi telah selesai.
Aku harus merombak tatanan hidup yang semula aku bangun. Tidak ada lagi plan-plan, yang ada hanya satu. Aku namakan tujuan tunggal. Yaitu membesarkan Key dalam lingkungan dan sekolah terbaik, dan menjadikan dia manusia penuh tanggung jawab. Tidak lebih dan tidak kurang.

Aku tapaki tangga menuju teras depan rumahku. Key tampak menyala dengan baju spiderman merahnya, ia sedang asik berjongkok menghadap sebuah toples dihadapannya.
“Assalamu’alaikum”
“Mam! Waalaikum salam! Lihat aku punya kura-kura!” teriaknya semangat.
“Waow! Dari mana?”
“Oom Erik!”
Deg! Kenapa ada detakan yang lain ketika Key menyebut nama Erik. pasti ini hanya detakan kesal dari yang baru saja terjadi.
“Kapan dikasihnya?”
“Tadi siang! Jam istirahat Oom Erik dateng ke sekolah! Sambil bawa si Cokky.” Kisahnya gembira.
“kok namanya Cokky? Siapa yang kasih nama?” aku membuka sepatu dan menyimpan tasku di atas sofa.
“aku! Kata Oom Erik perutnya coklat! Kura-kura ini namanya kura-kura brazil, mam!”
“Oh ya!”
“Satu Negara sama Ronaldho! Ronaldinho! Keren kan?”
Aku memasuki kamar untuk melepas baju yang penuh dengan keringat dan debu. Aku tatap cermin yang memantulan wajah yang mulai tua, lelah, skeptis, optimis sekaligus pesimis. Wajah 30 tahun, janda cerai dari seorang pria yang tidak bertanggung jawab.
Kenapa tadi Erik tidak mengatakan, jika dia mendatangi Key dan memberikam seekor kura-kura. Mungkin sore ini dia telah mempunyai rencana untuk aku dan Key, tetapi aku merusaknya dengan pembicaraan tentang Tiana dan meminta turun di tengah jalan.
Ah, Tiana maafkan aku. Seharusnya esok pagi aku membawa cerita menyenangkan untuknya. Tapi tidak usah khawatir, kita jangan menyerah, kelak akan aku coba lagi setelah semua salah faham ini tuntas.

Telah tiga kali telepon berdering tapi tidak aku jawab, hppun aku matikan. Tadi sore Erik berjanji akan menelepon tapi aku belum siap membahasnya. Erik pandai berdebat, omongannya selalu masuk akal dan aku tidak siap kalah telak untuk urusan yang satu ini.
“Kenapa sih mam? Telponnya kok enggak diangkat-ankat!” Key mulai terganggu.
“Aduh mamih cape! Ngantuk! Kalo bunyi lagi kamu aja yang akat ya!” sambil memasuki kamar.
Kembali telpon berdering, dan Key langsung menjawabnya.
“Hallo!”
“baik!”
“Udah! Udah aku kasih makan, tapi makannya susah! Di emut, kaya aku!”
“Ha…ha…!”
“Iya, harus di kolam, kalo di akuarium bulet itu kasian dia! Susah gerak!”
“aku belum tidur! Oom belum tidur?”
“aku lagi baca pesawat ulang alik, sama roket!!”
“yah!”
“Ok! Bos”
“da..da..h!”
Key menutup teleponnya, dia berjalan ke arah kamarku.
“mam!” teriaknya. “Cuma Oom Erik kok’ nanyain kabar Cokky!”
Gayanya sudah berlagak so’ besar. Key sudah menebak kalau aku masuk kamar hanya karena enggan menjawab telpon.
Esok, lusanya Erik tidak muncul hingga kami bertemu di acara pertandingan sepak bola Key.

“Hai!” sapa Erik.
Aku tersenyum sekaligus menyeringai, karena mulai kepanasan.
“Kok’ enggak kasih tahu kalau Key main hari ini?” Tanya Erik.
“Itu tahu!”
“Kemarin aku nelpon ke rumah! Key yang mengundang aku!”
“Nah, trus!”
Erik menggeleng. “Ria dikasih tahu juga ya?” sambil menunjuk Ria yang baru datang dengan putrinya.
“iya kemarin aku ajak! Kebetulan dia bisa datang!”  aku melambaikan tangan pada Ria.
“Memangnya kenapa? Orang biasanya kita bertiga kok!” aku tersenyum pada Afra, anaknya Ria. “Sini, sini duduknya Fra!” ajakku sambil menggeser tempat duduk, mempersilahkan Ria dan Afra duduk di tengah. Antara aku dan Erik. Erik memandangku tajam dengan ekor matanya. Tapi aku balas dengan senyuman.
Pertandingan dimulai seru, lucu, menggemaskan. Semua yang hadir adalah para orang tua, hingga sepasang kakek nenek yang menonton cucu mereka bertanding. Semua bergembira bersorak sorai. Tepat disebelahku sepasang suami istri yang heboh, sejak pertama kali main mereka terus menerus meneriakan nama anak mereka, sangat kencang.
“Kevin!”
“Go Kevin go!”
“Hidup Kevin!”
“Kevin yes! Kevin yes!”
“Keviiiiin!”
Aku meringis, kupingku terasa pekak. Pasangan heboh nan subur itu terus berteriak, berjingkrak tidak terkendali. Erik bangkit dari duduknya, menyuruh Ria, Afra, dan aku bergeser. Erik duduk tepat di sebelahku, membatasi aku dengan pasangan yang hyper aktif itu.
“Anaknya yang mana pak?” Tanya Erik pada si suami yang montok.
“Oh, anak saya! Yah! Itu yang nomor empat! Kaos kuning, dari kesebelasan Bina Citra!” jelasnya bangga. Anak yang ditunjuk adalah duplikat dia dalam bentuk mini, gemuk tetapi cukup lincah untuk ukuran badannya.
“Anak bapak yang mana?” Tanya si istri.
“Anak saya nomor sembilan, kaos merah. Tuh!” aku langsung menyikut perutnya, tapi sedikitpun Erik tidak mengaduh. Malah meneruskan, “Yang rambutnya berponi! Namanya Key! Baru lima tahun tapi tendangannya dahsyat!” kisah Erik. aku langsung memasang muka cemberut.
“Ow, lincah ya! Wah anak kita di tim yang berlawanan nih!” komentar si suami.
“ha..ha. iya yah! Wah mulai seru pak!” Erik menepuk bahu si suami, dan ajaibnya setelah diajak ngobrol pasangan itu jadi serius menyaksikan pertandingan. Tidak berkoar-koar tak tentu lagi seperti tadi.
Aku takjub menyaksikan setiap tendangan Key, kaki-kaki rapuh itu telah pandai berlari, jemari mungil itu telah kuat mengepal. Badannya yang kecil melompat-lompat gagah di tengah lapang, serupa kijang mengejar kumbang.
Waktu berlalu seperti berlari, belum puas rasanya aku menimangnya, mendekapnya manja. Kini Key telah menjelma menjadi lelaki kecil penuh vitalitas. Yang mempunyai kehendak, pendapat, keinginan, tuntutan, kebijakan, bahkan sebuah rasa marah. Aku tidak mau menukar kesempatan ini dengan apapun, menyaksikan sebagian jiwa-ragaku, hatiku, lahir-batinku, darah-dagingku setahap demi setahap tumbuh.
Sedikitpun aku tidak mengerti aturan main sepak bola, tetapi setiap tendangan Key ke arah gawang lawan aku bersorak. Karena aku tahu disitulah poinnya. Aku reflek memeluk Afra dan Ria bersamaan ketika tim Key mencetak gol, lalu memeluk Erik dengan gembira.
Reflek, tidak sengaja, terjadi begitu saja. Dan aku tidak menyadarinya secara langsung. Semua terasa ringan, biasa saja, sama seperti ia memelukku ketika aku menikah, ketika aku melahirkan Key, atau ketika aku mengucapkan selamat Karena dia naik jabatan.
Tetapi sepertinya tidak demikian yang dirasakan Erik, dia melirikku. Tersenyum ke arahku. Dan menggenggam lenganku. Aku menautkan alis, memandangnya dengan mata terbelalak, lalu perlahan ia sadari kesalahannya.
Meski tim Key kalah dari Bina Citra, dengan skor 1-2, pertandingan tetap berakhir gembira. Erik langsung membopong Key dibahunya dan mereka tertawa gembira. Ria dan Afra turut bersorak gembira, kecuali aku yang terdiam. Karena tidak lagi menganggap semua kebaikan Erik untuk kami adalah tulus, tetapi ia menunggu pamrih dari semuanya.
Ria yang peka terhadap sikapku, langsung memandang tajam ke arahku, aku langsung menggelengkan kepala.
“kenapa?” Tanya Ria.
“enggak kenapa-napa!” jawabku.
“bohong!” ia menggamit bahuku, dan kami tertinggal dari Erik, Key dan Afra yang telah jalan terlebih dahulu.
“kenapa bete?”
“siapa yang bete!”
“mukanya kayak sate!” jawab Ria, jawab Ria mengumpamakan aku dengan makanan yang tidak ia sukai.
Aku tertawa menyeringai, memamerkan gigi-gigiku pada Ria, “See! I am happy! Darling!” dan aku kembali berjalan. Tingkahku mulai tak karuan, karena Ria seringkali merasa, jika aku sedang ada masalah tanpa aku bercerita.
“Key kan baru lima tahun! Enggak apa-apa lagi kalo timnya kalah! Orang lawannya pada jago begitu! Badannya gede-gede lagi!” jelas Ria menghiburku.
Alhamdulillah, Ria mennyangka wajahku yang bertekuk akibat kekalahan tim Key. Key berlari kearahku.
“Mam, kita makan-makan dulu yuk!” ajak Key.
Aku melirik ke arah Erik yang sedang memperhatikan kami, dan menggelengkan kepala pada Key.
“Sebentar aja, pergi dulu! Mam!” bujuk Key.
“Mamih capek banget! Besok aja deh!” bujukku.
Key merengut, “sekarang aja rame-rame sama Afra!”
Aku kembali menggeleng tegas, lalu Key meninggalkanku menuju Erik dengan wajah merah, penuh keringat sambil manyun.
“ngehibur anak karena baru kalah! Kenapa sih? Susah amat!” komentar Ria.
“jangan jadikan anak kita menjadi manusia yang konsumtif, Ri!” jawabku.
“sekali-kali!”
Not now!”
Semua tertular virus bete ketika kami memasuki mobil. Erik dan Key karena tidak kurestui untuk pergi makan, Ria yang sarannya kali ini tidak aku hiraukan, dan aku yang sebal dengan maneuver-manuver yang dilancarkan Erik.



.:. Bala Bantuan.:.

Erik menghilang berbulan-bulan, ia tidak menghubungiku dan aku juga tidak mengontaknya. Tetapi tanpa sepengetahuanku beberapa kali ia mengunjungi Key di sekolahnya, terutama di hari awal-awal Key masuk SD. Sepertinya Erik faham tentang kerisauan seorang anak yang memasuki dunia baru baginya.
Key tidak pernah bercerita langsung jika Erik mengunjunginya, entah karena Erik yang melarang, atau memang Key yang suka malas bercerita. Seringkali aku tahu seminggu atau dua minggu sesudahnya, dan tidak ada yang perlu aku lakukan atau konfirmasi terhadap Erik. Jadi aku biarkan semua berjalan seperti biasa, aku mulai menikmati seutuhnya sendiri dan mandiri.
Menyenangkan tetapi terasa lengang, jika senang tidak ada teman setingkat untuk aku ajak tersenyum, jika sedih tidak ada tangan yang mau menampung air mataku.
Key meminta untuk ikut karate sepulang sekolah, setelah ia merengek untuk dimasukan ke les piano dengan teman sekelasnya. Ia seperti ingin menambah kesibukan, menyaingi aktifitasku. Mungkin untuk melupakan resah hatinya karena rindu pada sang ayah yang telah berulan-bulan tidak setor suara apalagi wajah kehadapannya.
Pagi ini aku tatap Key lebih lekat, ia terlihat lebih tinggi namun sedikit kurus. Aku sodorkan segelas susu kehadapannya.
“Mam, besok pulang sekolah teman-temanku mau main ke rumah! Boleh?” Tanyanya dengan mulut penuh nasi goreng.
“siapa aja?”
“Abin!”
“Trus?”
“Abin aja!”
“Cuma satu orang?”
Key mengangguk.
“kalau Cuma satu orang! Disebutnya bukan teman-teman! Tetapi teman aja! Kalau teman-teman itu lebih dari satu!” aku menjelaskan.
“Banyakan?” tanyanya.
“Ya!”
Key meminum susunya.
“Key! Kalau menurut mamih kamu enggak usah dulu ikut karate deh!”
“kenapa? Key meletakan gelasnya, mengerutkan kedua alisnya.
“capek! Nanti kamu kecapean! Ntar aja kalau udah  kelas 3 SD, baru boleh ikut karate!” aku menjelaskan khawatir.
“Enggak, kan Cuma di lapangan blok H! deket rumah Abin! Enggak akan cape!” katanya cepat setengah memaksa.
“Kamu baru enam tahun Key!” bujukku.
“Aku enam tahun tujuh bulan, mamih! Abin juga enam tahun! Tapi dia boleh ikut karate!” Key membandingkan.
“Tapi dia enggak ikut klub sepak bola!” jawabku. Key terdiam. “Atau gini aja! Kamu pilih salah satu, mau ikut sepak bola atau karate? Jangan dua-duanya!” usulku.
Key manyun dengan mulut masih penuh nasi. “enggak mau! Aku mau sepak bola, juga mau karate!” katanya keras.
Suara klakson mobil jemputan sekolah telah mamanggil, Key langsung meraih tas, dan menghabiskan susunya.
“pokoknya aku mau dua-duanya!” teriaknya sambil berlari.
“Key!” panggilku. Key meletakan tasnya dan kembali ke meja makan untuk mengecup pipiku.
“Assalamu’alaikum!” teriaknya.
“Waalaikumssalam!” jawabku.
Hmmm….membujuk Key untuk yang satu ini sangat sulit, aku sudah memberi petanda bahwa aku keberatan jika dia mengikuti karate kids sejak awal. Tetapi ia terus berkeras, aku tidak memberinya uang untuk mendaftar, tetapi ia menggunakan uang jajannya untuk daftar. Aku tidak juga membelikan ia baju karate, tetapi ia membujuk kakanya Abin untuk meminjamkan baju karatenya yang sudah tidak terpakai. Di beberapa penolakanku, Key selalu memiliki jalan keluar. Seandainya ada kawan untuk diajak diskusi atau setidaknya membujuk Key, mungkin aku tidak perlu bersusah hati dipagi yang cerah seperti ini.
►◄►◄►◄

Petang di hari yang panas sangat indah, matahari sore menampakan bentuknya yang bulat sempurna, warnanya jingga menawan, memendarkan warnanya pada langit barat. Mengajak burung-burung keluar dari sarang, angin meniupkan udara sepoi yang nikmat, mendesiskan suara sahdu. Senja ini sungguh mengulum jiwaku, hatiku yang menyisakan resah pagi tadi.
Derap langkah berirama mengikutiku sejak tadi, tidak tertarik untuk menolehnya karena aku sedang ingin sendiri dari kesendirianku. Langkah itu semakin dekat, dan iramanya kini telah kukenal, seiring aroma Bulgari yang menguar lembut. Aku mengalah membuat langkahku menjadi pelan. Erik berjalan disampingku.
“Ke mana?” tanyanya.
“pulang!” jawabku.
“ini bukan arah pulang!”
“muter!”
            Sebuah gedung bank swasta menjulang tinggi, café yang berada di sudut kanan lantai dasarnya tidak terlalu ramai.
            “Mampir dulu, Yuk!” ajak Erik, aku masih diam. “Please! Ada yang mau aku sampein!”
            Kali ini aku tidak berniat mendebat siapapun, dan lagi aku masih ingin menikmati petang jingga ini, akan lebih baik dengan duduk santai di kursi-kursi teras itu.

            Dua gelas kopi dan keripik kentang sudah tersaji di hadapan kami, namun belum ada pembicaraan yang terhidang untuk menyertainya. Setelah kopi kuseruput hampir setengah cangkir aku baru mengeluarkan suara, karena Erik kembali menjadi manusia yang so’ cool.
            “Mau nyampein apa?” tanyaku.
            “Key tuh suka sama karate! Itu impiannya sejak dulu! Tapi dia juga cinta bola, jadi itu pilihan yang sulit!” Erik membuka pembicaraan langsung ke pusat sasaran.
            “Aku takut dia kecapean!”
            “Kalau dia cape, dia janji akan bilang!
            “Aku enggak mau nunggu sampai dia sakit!”
“Stamina anak itu bagus! Semangatnya juga luar biasa! Jarang banget anak seusia dia berinisiatif ikut ini! ikut itu!” Erik menyeruput kopinya. “yang ada, anak orang lain, justru orang tuanya yang semangat masukin anak mereka ke les-les yang anaknya enggak suka! Ujung-ujungnya si anak malah jadi stress!” Erik menyandarkan punggungnya. “Key itu lain, minatnya datang dari dia sendiri!”
“kapan kamu bicara sama Key?”
            “Tadi siang dia nelpon!”
            Aku menghabiskan kopi hingga tandas, aku harap Erik telah kembali seperti semula, ketika belum ada perasaan-perasaan aneh dalam hatinya. Dan sepertinya aku memang membutuhkan teman bicara untuk yang satu ini.
            “Aku tidak melihat itu dari Key! Dia seperti tidak ingin punya waktu luang! Karena kalau di rumah, Key stress! dia naik turun tangga enggak ada tujuan, baca buku tapi enggak beres-beres! Dia seperti mencari sesuatu yang hilang! Sementara aku tidak bisa selalu ada jika dia sedang sendiri! Dia enggak periang lagi seperti dulu! Dia…Dia..!” aku menelan ludah, mataku tiba-tiba memanas.
“Dia kangen Banna, dia butuh teman! dia butuh Banna atau setidaknya sosok seperti Banna!” air mataku mulai mengalir. “Bi Ira, yang kasih tahu aku! Tiap hari, Kalau dia pulang sekolah! Yang pertama ia Tanya! Om Erik telpon enggak! Karena ia tahu Banna enggak akan pulang lagi! tapi baru kemudian dia nanya, Papih telpon enggak?! Mamih enggak akan pulang cepet ya?!” Air mataku sulit sekali berhenti.
“Tiga paket pertanyaan itu yang selalu ia tanyain!” aku menghela napas dalam. “ternyata aku enggak mampu lebih dari yang seharusnya, buat Key!” Aku menundukan kepala, ingin meluapkan kekesalan karena ketiadakmampuanku sendiri.
            Erik mengelus tanganku, terasa dukungan sahabat yang telah lama hilang. Key mencari Erik untuk diajak bicara setelah ia menemu jalan buntu denganku, Key merasa Erik adalah orang yang tepat untuk diajak bicara. Bukan Mukti, adikku padahal ia cukup dekat dengannya, bukan pula Banna, ayahnya meski ia tahu nomor Hpnya.
            Sepertinya aku mulai menyerah pada keadaan yang telah terbentuk waktu dan alam, tidak perlu ditolak terlalu kuat. Biarkan ia mengalir apa adanya,  jika harus lunak maka ia akan memuai, jika harus keras maka ia akan membaja. Naluri anak-anak adalah naluri yang alami, pendapat yang jujur tanpa tendensi. Maka ia akan menyentuh yang berhati bersih dan berniat baik.
►◄►◄►◄

            Key lenggak lenggok dengan baju karate barunya, yang aku belikan tadi malam. Wajahnya sumringah, matanya bercahaya penuh kehidupan. Dia mendekapku erat.
            “makasih ya, mam!” ia mencium pipi kananku. “Ini untuk Om Erik!” dia mencium pipi kiriku. Aku mengerutkan dahi.
            “Kok untuk Oom Erik?” tanyaku merengut.
            “Kan, karena dia, mamih jadi beliin aku baju karate baru!” katanya lantang.
            Aku makin merengut, “ah kata siapa? Memang mamih udah niat beliin baju karate, kok!”
            “Masya sih!” ejek Key sambil tertawa.
            Tawa itu yang sudah lama tidak terdengar di rumah kami, rumah kembali terasa hidup. Setiap ruang terasa mulai bernapas. Selega napasku.

            Key dan pekerjaan, hanya itu fokusku. Tidak ada yang lain. Sementara Erik belum memulai lagi mengutarakan niatnya yang dulu, untuk menjalin hubungan serius denganku, ada baiknya aku kembalikan hubungan kami sehangat dahulu sebagai sahabat, tempat bermuara segala resah dan kesulitan dalam arti yang harfiah.
Terkadang ada rasa tidak enak pada Erik, terkesan sangat memanfaatkannya. Tapi saat ini aku belum memiliki jalan ke luar yang lain. Karena Ria tengah disibukan mertuanya yang tiba-tiba ingin pindah kerumahnya dari Makasar. Dan aku tidak mungkin berharap pada keluargaku, karena mereka semua memiliki kesibukan yang luar biasa. Ayahku yang makin Berjaya, dengan usaha tambak udang dan kolam ikannya di Indramayu sepeninggal ibu delapan tahun lalu, dan Mukti adikku, don juan kelas teri itu masih disibukan dengan pacarnya yang semakin banyak tersebar.
            Dibeberapa waklu luang yang dimilki Erik, dia selalu mengajak Key. Mulai hanya mencari buku di Palasari, sampai berburu binantang melata ke Pangalengan. Dipastikan tanpa aku, hanya mereka berdua. Dan Erik sangat menghormati kesepakatan aku dan Key untuk tidak menerima tamu laki-laki dewasa di rumah kami. Jadi selama kegiatan itu berlangsung Erik hanya mengantar dan menjemput Key di pintu gerbang.



.:. Dari dan Untuk Sekitar .:.

Bandara Soekarno Hatta lebih lengang dari biasanya, yang tampak hanya dua TKW dengan tumpukan koper-koper besar dihadapan mereka dan Tiga orang turis dengan ransel kecil dan tas super panjang berisi papan seluncur, sedang asik berbincang dalam bahasa Belanda duduk dihadapanku.
Aku masih menunggu supir kantor menjemput, ketika seorang ibu dengan sasak tinggi menghampiriku. Wajahnya sering aku lihat, tetapi aku lupa namanya, ia tersenyum menyeringai dengan gigi taringnya yang gingsul.
“Mamih Key! Lagi apa?” sapanya, ia tidak memanggilku dengan sebutan ibu Banna lagi.
Aku berdiri menyambutnya, “eh, ibu apa kabar? Saya lagi nunggu sopir kantor mau jemput!”
Si ibu sasak itu tiba-tiba menarik lenganku, mengajak untuk duduk agak menjauh dari tiga turis yang berisik itu.
“Dari mana?” tanyanya.
“Pulang Dinas, dari Kendari! Ibu dari mana?” aku balik bertanya.
Ia membetulkan posisi duduknya jadi lebih dekat dan menghadapku. “habis nganter Famili, balik ke Jerman!” dengan logat Jawa yang kental.
“Oh!” aku mengangguk.
“Makin cantik aja ini! jarang ketemu ya! Padahal Cuma terhalang beberapa rumah!”
“Ya, bu! Adanya Cuma sore, sama malem aja! Jawabku singkat.
“Key, apa kabar? Dia mainnya ke belakang terus ya?” tanyanya.
“Baik, alhamdulillah! Iya, ada temennya di blok H! Abin, anaknya pak Santoso!”
            “Ya, hati-hati aja, kadang suka ada ojek! Ngebut-ngebut! Jalannyakan masih licin! Baru dibetulin!” bicaranya terus merepet tanpa jeda, dan sampai saat ini aku masih lupa dengan namanya.
“Jeng!” Dia mengubah lagi panggilannya. “maaf lho ya! Mau tanya! Jangan tersinggung! Ingin klarifikasi, karena jarang ketemu! Langsung aja di sini, enggak apa-apa tho?” Tanyanya.
“Enggak apa-apa!” jawabku singkat, lalu ia menggenggam tanganku.
 “angan marah!” pintanya.
“Enggak!”
“mungkin bakal ngingetin yang enggak enak! Tapi saya perlu tahu aja! Biar jelas, enggak ada fitnah!” ia menjeda bicaranya. “Pembantu harian jeng Yasmin!”
“Si Teh Ira! Jawabku mengingatkan.
“Iya, sama si Tumi itu kan dekat! Mungkin Tumi tahu dari dia, Mmmm…” dia menunduk berlagak sungkan. “katanya jeng Yasmin sama, mmmh…suami! Sudah pisah?!” Tanyanya ragu.
Mungkin ini saatnya untuk bicara pada orang di sekitar rumahku, melalui lidah beliau. Semoga tidak ada yang dilebihkan, atau dikurangkan ketika ia menyampaikannya kepada orang-orang sejenisnya.
“Ya!” jawabku singkat. “Ya, kami sudah bercerai! Sudah mau dua tahun bu!”
“Dua tahun?! Katanya terperanjat. “sudah lama juga! Kok enggak pernah ada kabar?!”
Aku tersenyum, “ini kan kabar duka bu! Bukan kabar bahagia!”
“Jeng Yasmin ini, luar biasa sekali menyimpannya!” ia menggenggam tanganku, mencoba bersimpati. “kenapa?” tanyanya.
Kembali aku tersenyum, sambil menggeleng. “ enggak apa-apa! Hanya saja kondisi ini yang terbaik untuk kami!”
“Key? Bagaiman dengan dengan dia?” tanyanya.
“Dia juga mengerti keadaan ini yang terbaik untuk kami!” jawabanku menjelaskan seluruhnya. Si Ibu sasak itu menautkan alisnya, menggeleng-gelengkan kepala, berharap aku bercerita lebih banyak lagi.
“Mohon do’anya saja, semoga saya sanggup!” Aku menggenggam tangannya, mencoba mencari dukungan dari orang yang belum seluruhnya aku kenal.
Pak Jajat, supir kantor yang akan menjemputku telah datang. Ia menyelamatku dari perbincangan yang bisa bercabang memanjang. Aku membereskan semua bawaanku.
“Ibu, si bapak supirnya udah datang! Maaf saya!” Ia memotong kalimatku.
“Ya, pokoknya jeng Yasmin kalau ada perlu apa-apa jangan sungkan! Hubungi aja saya! Kalau ada waktu ikutlah arisan RT, nanti kita atur biar waktunya hari sabtu atau minggu! Biar jeng Yasmin bisa datang!”
Aku tersenyum “iya bu, terima kasih! Terima kasih banyak! mudah-mudahan nanti saya bisa ikut arisan RT!”
Pak Jajat langsung menemukanku dan langsung menenteng dua tas milikku.
“Benar lho jeng jangan sungkan! Penawaran saya bukan tawar warung! Ngelewatin hari-hari seperti ini bukan main beratnya! Saya pernah merasakannya!” Ibu Sasak itu memandangku lembut penuh keyakinan, tanda peduli yang berasal dari hati yang jujur.
Pengakuannya yang terakhir cukup mengagetkan,  yang pasti diperlukan keberanian untuk mengungkap secuil dari masa lalunya yang kelam kepada orang yang yang belum terlalu ia kenal. Demikian juga denganku, mudah-mudahan dia adalah orang yang tepat untuk menjadi orang pertama disekitar rumahku, yang mengetahui bahwa kini aku adalah seorang janda.
 ►◄►◄►◄

 Sepulang dari Kendari aku langsung menanyakan nama si ibu Sasak itu pada Teh Ira, dan dia memberitahukan bahwa si ibu Sasak itu bernama ibu Sanny dan ternyata ia juga menjanda hingga kini. Dan aku sama sekali tidak mengetahui, dalam jarak lima rumah dari rumahku ada wanita yang bernasib sama dengan kisah yang jauh lebih tragis lagi.
The Ira berkisah dari Tumi pembantu ibu Sanny yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga ibu Sanny.
Ibu Sanny dan suaminya yang anggota TNI telah mempunyai tiga anak ketika suaminya dipindah tugaskan ke Medan. Ibu Sanny tidak bisa ikut pindah karena kariernyapun sedang cemerlang di perusahaan obat. Selama dua tahun tidak ada yang berubah dari suaminya, ia rutin mengirimkan uang dan pulang tiga bulan sekali. Baru ketika memasuki tahun ketiga dimulai dari  pengiriman uang sering telat dan kurang, serta sang suami tidak lagi pulang dalam waktu lebih dari empat bulan.
Maka Bu Sanny dan anak pertamanya datang ke Medan, dan mendapati suaminya telah memiliki anak dari sekertarisnya. Saat itu mereka telah hidup satu rumah dan Bu Sanny mengira mereka telah menikah. Tidak berselang lama Bu Sanny langsung minta cerai dan selama puluhan tahun suaminya tidak pernah menampakkan batang hidungnya apalagi sepeser nafkah bagi ke tiga anak mereka.
Tetapi setelah 31 tahun lenyap barulah ibu Sanny dan keluarga mendapat kabar dari kantor suaminya, bahwa suaminya telah meninggal satu tahun yang lalu di Jogjakarta dalam keadaan sebatang kara. Tanpa keluarga yang menemani disaat-saat terakhir hidupnya akibat digerogoti penyakit paru-paru yang parah.
Sang pembawa kabar itu datang beserta rapelan uang pensiun selama satu tahun, karena nama Ibu Sanny masih tercantum sebagai istri sah suaminya. Dan tidak pernah terganti dengan nama perempuan lain termasuk sekretaris penghancur rumah tangga mereka dulu.
Sang suami hanya menceraikan Ibu Sanny secara fisik tidak dalam stuktur administrasi negara. Mungkin sengaja ia lakukan sebagai penebus tumpukan kesalahan yang pernah ia lakukan. Ia berharap dosanya termaafkan dengan uang pensiun yang tidak seberapa itu.
Ibu Sanny telah lulus dari segala macam halang rintang kehidupan, karena bukan hal yang gampang membesarkan tiga orang anak beserta trauma dan sakit hati yang terus menguntit hingga kini.
Ketika Teh Ira mengakhiri ceritanya, terngiang kalimat terakhir ibu Sanny tadi siang. Tentang beratnya melewati semua tahapan ini. semakin terngiang, semoga menjadikanku semakin kuat, karena aku tidak sendiri. Jika aku mendatangi LBH yang mengurusi perempuan pastilah kisahku dan kisah ibu Sanny masih jauh lebih baik dari kisah puluhan wanita yang lebih pilu dan menyakitkan. Berfikir bahwa kita jauh lebih beruntung dari orang lain meski dengan banyak keterbatasan membuat kita sedikit lega dan mau bersyukur.


Key memiliki kisah seru sepeninggal aku bertugas ke Kendari, Erik meminta izin untuk mengajak Key menginap di rumah orang tuanya. Karena rumahnya yang minimalis tidak mengasikan bagi Key. Kebetulan di rumah orang tuanya juga tinggal kakak dan keluarganya yang memiliki  dua anak laki-laki, anak pertamanya tigatahun di atas Key dan adiknya satu tahun dibawah Key. Namun mereka kompak dalam segala permainan, karena rata-rata memiliki hobi yang mirip. Dan kebetulan lagi kakaknya Erik membuka taman bacaan, yang membuat Key semakin betah.
“Raka itu punya ular lho mam! Warnanya kuning!” Key membuka kisahnya.
“hiiii….” Aku langsung bergidik.
“enggak jijik mam! Lembut banget! Kalau aku udah segede Raka aku boleh pelihara ular ya mam!” pinta Key.
No way!” tolakku cepat. “kucing aja!”
“Hah, kucing sih peliharaan anak perempuan!” Key manyun. “O’ ya mam! Ibunya om Erik ngebetein deh mam! Bawel! Tapi lucu! Rambutnya udah putih semua, kalau ngomong mulutnya bercahaya! Ha…ha…” Key tertawa terpingkal-pingkal.
Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Erik, ternyata ibunya masih saja unik dan belum menanggalkan gigi masnya yang sudah ia kenakan sejak dulu. Dan itu sering menjadi bahan bulan-bulanan untuk Erik. tetapi Erik tidak pernah marah malah berkilah “ibuku itu seniman! Jadi jangan batasi kreatifitas seniman!”
“Mam, makanan di sana enak-enak deh! Mamahnya Raka masak spageti tapi sausanya dari ikan tongkol! Kita diajak, mulai dari bersihin ikan tongkol sampe masaknya! Seru deh! O’ ya mam! Raka nanya, kalau aku apanya Om Erik? aku bilang, aku anak temannya Om Erik! namanya siapa? Aku bilang! Yasmin! Trus Raka bilang, kata mamanya, Yasmin itu calon istrinya Om Erik! Itu Yasmin mamih atau temen Om Erik yang lain!??” Key menautkan alisnya memandangku.
“Hah!” aku balas memandang ke arah Key. “Mmmhh….kayanya bukan deh! Itu bukan Mamih! Temen Om Erik yang namanya Yasmin kan banyak juga!” jawabku meyakinkan.
“Iya, aku pikir juga begitu! Karena mamih kan udah pernah menikah sama papih! Jadi enggak mungkin menikah lagi! tapi!” Ia menggantung kalimatnya. “ Tapi kata Oom Erik kalau orang yang sudah menikah terus menjadi sendiri lagi! itu boleh menikah lagi! terus Om Erik nyuruh nanyanya ke Mamih, kalau itu Yasmin mamih atau bukan!?” jelasnya terbata-bata.
“Lho, emangnya Key nanya sama Oom Erik juga?”
“Iyyya…sebelum ke mamih ke Om Erik dulu! Tapi dia engga bisa jawab! Suruh nanyanya ke mamih!” Key mengulang dengan jelas. “jadi bukan mamih ya?!” tanyanya. “Bukan Yasmin mamih ya?” Key mengulang, kurang yakin.
Aku tidak langsung menggeleng, dan jelas aku tidak akan mengangguk. Pertanyaan itu tidak man-main, menyangkut keseluruhan hidup kami berikutnya. Ini seperti sebuah lamaran ke dua yang diutarakan Erik melalui mulut Key, strategi yang lumayan kreatif karena Erik tahu aku tidak mungkin berdebat dengan Key. Dan jika mau, mungkin ini waktunya aku bisa bertanya pada Key, apakah Erik orang yang tepat untuk menggantikan posisi Banna.
 Sejujurnya tidak ada pendapat yang condong pada salah satunya, ya atau tidak. Aku tidak berniat mengakhiri masa lajang yang kedua kalinya sesingkat ini, meski dengan orang yang telah aku kenal bertahun-tahun. Aku masih menyayangi Erik pada tempat yang sama ketika belum ada Banna dan Key. Tapi aku menyayangi Erik, dan peduli padanya.
Akhirnya aku menggeleng di hadapan Key, “bukan!” jawabku ngambang. Key mengangguk dan langsung pergi ke meja telpon.
“Oom!” panggilnya.
“mamih udah pulang?
“Udah! Udah pulang! Oom di mana?”
“di kantor!”
“Masih di kantor?! Kok udah malam masih di kantor!”
“iya besok ada presentasi!”
“apa?”
“pre-sen-ta-si! Eh, Udah di tanya sama mamih, belum?”
“udah! Kata mamih bukan! Bukan mamih orangnya!
“Oh kata mamih gitu yah?!”
“Iya, Oom nanti tolong kasih tahu Raka, kalau Yasmin yang dia maksud bukan yasmin mamih! Tapi Yasmin temen Oom Erik yang lain! Ya Oom!
“Ya!”
“Oom pulang jam berapa?”
“paling satu jam lagi!”
“hati-hati, ya Om! Oom nanti hari sabtu aku tanding lawan kaka angkatan! Om bisa nonton engga?”
“Ok! Pasti!”
“yah, udah ya Oom! Dadah!”
“Bye”

            Sikap Erik setelah itu tidak ada yang berubah, ia masih datang ke acara pertandingan Key di sabtu pagi yang ia janjikan. Aku sempat sedikit canggung tapi Erik membawa suasana lebih cair, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Erik kini lebih mengerti semua terlalu dini untuk dibicarakan.
Key semakin tergantung pada Erik, menganggap kehadiran Erik telah melengkapi hari-harinya, maka aktifitasnya tanpa Erik terasa hambar. Aku khawatir terhadap sikap Key, juga turut ketergantungan untuk segala perkara yang menyangkut Key. Aku terjebak diantara kebutuhan Key dan keinginan Erik. Ini menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak jika aku tidak menetukan sikap, sedang hatiku masih bergulir. Bagaimana jika aku menemukan orang yang aku anggap tepat tetapi bukan Erik orangnya.



.:. Pernikahan Kedua .:.

Kode area Indramayu, memekik kerlap-kerlip di Hpku, lebih dari satu bulan aku tidak mengontak ayah untuk menanyakn kabarnya, dan kini ia menelpon lebih dahulu, sesuatu yang jarang ia lakukan.
“Min” panggilnya disebrang sana, panggilan masa kecil yang kurang menyenangkan.
“Yasmin!” panggilnya lagi.
“Ayah ya!? Ayah apa kabar? Sehat?”
“Baik! Kamu!?”
“Alhamdulillah!”
“Key, sehat?”
“Alhamdulillah!”
“di mana min?”
“Di kantor!”
“tengok bapak ke sini ya, hari minggu! Harus!”
“minggu ini?”
“Iya!”
“ngapain?”
“apa kamu enggak kangen? Kalau engak kirim aja Key! Bapak rindu sekali sama dia!” katanya ketus.
“Iya, iya aku usahain!” bujukku.
“ajak semua! Mukti juga! Siapa aja, teman kamu! Atau calon mantuku yang baru kalau sudah ada he…he…” tawanya masih terdengar renyah.
“enggak ada! Ya nanti dibawain sama Mukti calon istrinya, lima orang kalau perlu! Biar bapak bisa milihin!”
“ha…ha…belum tobat juga dia!” Bapak masih terkekeh. “Min, hari minggu ya, jangan lupa! Semakin baik datang dari hari sabtu supaya kalian bisa nginep! Jangan sampai enggak ya!”
“ya, insya Allah!”
“udah ya!”
“jaga kese…” nuuuut, telpon sudah terputus. “kesehatan, en I love u, daddy!” kalimatku yang terakhir itu jelas tidak didengarnya.
Ayah sudah kembali seperti dulu, ramai dan agak urakan. Mulut ayah seperti perempuan senang mengoceh, apa saja bisa di jadikan bahan pembicaraan. Seringkali kami pusing mendengar ceritanya yang ia ulang berkali-kali, jika diingatkan “Ayah, cerita itu udah ayah ceritakan empat kali, dan tadi itu yang ke lima kalinya!” maka ayah akan menjawab, “eh, cerita itu penuh makna, sarat pelajaran hidup! Maka akan ayah ulang, agar kalian selalu mengingatnya” dan itu selalu berulang meski ceritanya amat sederhana.
Ibu adalah kebalikannya dari ayah, ia sedikit bicara. Ibu adalah penyeimbang bagi ayah, dan begitu sebaliknya. Mereka diciptakan untuk saling mengisi, menghormati dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam perkara berkicau.
Meski ayah mengaku ketika bujang ia sering gonta ganti pacar, tidak jauh dari kelakuan Mukti sekarang. Tapi sekalipun ia tidak pernah mengulangnya setelah ia menikah dengan ibu. Ayah sangat menjunjung tinggi peran seorang istri, menghormati dan menyayanginya sepenuh hati. Maka ketika ibu meninggal, selama satu tahun jiwanya turut mati. Semangat hidupnya turun drastis, hari-harinya hanya ia habiskan di depan TV kadang-kadang ditemani minuman beralkohol.
 Aku dan Mukti sudah dewasa, hingga kami bisa mengurus diri kami sendiri. meski sempat mengalami hari-hari yang sama kacaunya dengan ayah.
Ayah terselamatkan dengan kunjungan pak Wahid, mantan bawahannya di tempat kerjanya dulu. Pak Wahid yang asli Indramayu memiliki usaha tambak udang yang hampir bangkrut, mengajak serta ayah untuk menanam modal dan ikut serta mengurus urusan tehnis dan pemasarannya. Duet ayah dan pak Wahid membuahkan hasil yang menggembirakan setelah berjalan dua tahun, hingga kini mereka telah memiliki tambak masing-masing namun masih tetap bermitra.
Ayah seperti memiliki mainan baru, setiap pengalaman barunya ia kisahkan penuh semangat. Mulutnya kembali mengoceh penuh gairah. Dan kini aku tidak pernah lagi berkebaratan apapun yang ia bicarakan, karena ayah telah kembali hidup dari kematian yang lebih menakutkan dari mati yang sesungguhnya.
Key langsung gembira ketika aku bertahukan bahwa kita akan mengunjungi kakeknya di Indramayu.
“Siapa aja yang mau ikut?” tanyanya.
“enggak hanya kita!” jawabku.
“aku boleh ngajak teman?”
“siapa?”
“Oom Erik!” jawabnya. Oh, kini mereka telah berteman, hingga ketika Key bergembira Erik adalah orang pertama yang diingatnya.
“kayanya enggak deh! Kita aja, sama Oom Mukti kalau dia bisa! Tapi mamih belum nelpon Oom Mukti. Maka aku segerakan menelponnya agar Key tidak memaksa membawa teman seperjalanan yang ia usulkan tadi.
Musik metal yang memekakan telinga menjadi nada sambung Hp Mukti.
“Hallow sis!” sapanya.
“lagi apa Ti?”
“lagi di kamar mandi! Lagi boks…! Ha…haha!” Mukti terkekeh diikuti suara deru air.
“Mukti anterin kita ke Indramayu yuk!” ajakku langsung.
“Iya, Min! ayah tadi siang nelpon, nyuruh aku dateng hari minggu besok! Wajib katanya!”
“Oh, ayah nelpon kamu juga?”
“Iya! Ada apaan sih?”
“enggak tahu! kangen aja kali!”
“hah seumur-umur mana pernah dia kangen!”
“heh! Jangan gitu! Di udah tua tau! Orangkan bisa berubah!” kataku jelas. “jadi bisa enggak ke Indramayunya!”
“Iya…iya bisa kali!”
“kok kali sih?! Enggak usah pacaran sekali aja napa sih!?”
“enggak aku lagi jomblo sekarang!”
Jomblo dalam pengertian Mukti adalah hanya mengencani wanita tanpa status yang jelas, dan itupun biasanya lebih dari satu orang. Sambil  ia memilih-milih untuk nanti salah satu atau salah duanya dijadikan pacar yang ia perkenalkan padaku.
►◄►◄►◄

Hari jum’at malam Mukti datang menginap kerumahku. Badannya kucel dengan ransel merah yang sudah kusam. Hati Key seperti akan meledak saking gembiranya, bertemu Omnya dan esok akan berkinjung pada kakeknya. Mukti dan Key terus bermain, main bola, salto, karate-karatean, jumpalitan. Hingga Mukti kewalahan melayani Key yang seperti tidak pernah kehabisan energi.
Baru jam sepuluh malam aku baru menyadari kalau Mukti datang tanpa mobil jipnya.
“Mobil kamu di taro di mana, Ti?”
“aku enggak bawa mobil!”
“hah!”
“mobilnya lagi disekolahin!”
“apa?! Disekolahin di mana?!”
“He he he…dipegadaian swasta!”
“hah?! Digadein!? Kenapa? Terus besok kita ke Indramayunya pake apa?”
“pake si Citroen” katanya polos, menyebut merk mobilku.
“ampun deh Mukti! Si Citroen enggak akan kuat dibawa ke Indramayu.”
“Iya, dia udah sering batuk” Key menambahkan dengan kalimatnya yang aneh.
“iya, dia Cuma berlaku untuk dalam kota! itupun Cuma dari rumah ke kantor! Enggak bisa lebih jauh lagi!”
“naik bis aja!”
“Waduh ke Indramayu itu jalurnya muter-muter, lama! Mana enggak ada bis yang Ac lagi!”
“pinjem aja!”
“sama siapa?”
“Oom Erik” celetuk Key.
“a..aahh” Mukti menyeringai setuju. “ayo telpon Erik!”
 “enggak! ngerental aja!” usulku.
“enggak ada rental mobil yang buka segini malem kali! Apalagi buat dipake besok pagi! Key telpon Oom Eriknya!” pinta Mukti, tanpa ba bi bu Key menurut.
Sebelum aku melarang lagi, Key sudah mendial nomor Erik dari Hpku. Ketika aku akan merebutnya, Erik sudah menyapa disebrang sana.
“Oom! Udah tidur Oom?”
“belum!”
“Besok mau ke mana Oom?”
“enggak, kan kamu sepak bolanya libur! Jadi Oom enggak kemana-mana!”
“mau ke mana-mana enggak Oom?” Key dan Mukti bersamaan terkekeh jahil.
“ke mana?”
“ke Indramayu! Nginep semalem! mobilnya Oom mukti lagi sekolah! Mobil mamih lagi batuk-batuk!.
“ha…ha…ha” Erik tertawa kencang, “jadi Oom di ajak karena Key butuh tumpangan?!”
“hi…hi….hi…enggak juga sih! Biar Oom kenal kakek aku! Dia orangnya seru! Kaya kita!” bujuk Key.
“Ok! Jam berapa berangkatnya?”
“Mam, besok kita berangkat jam berapa?” Key berteriak tanpa menutup hpnya. Aku menggeleng masih tidak setuju. Mukti mengacungkan tujuh jarinya pada Key.
“jam tujuh Oom!”
“Ok! Pilot siap bertugas, kapten!” kata Erik bersemangat.
Aku terduduk lemas, mengaku kalah dari Mukti dan Key. Mengapa para laki-laki di duniaku senang sekali menguasai perempuan. Erik kembali mengisi ruang kehidupan kami, aku masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayangnya. Bahkan ketika aku telah tersadar untuk melepaskan Key dari ketergantungannya pada Erik.
Aku langsung menelpon Ria dan mengajaknya ke Indramayu, tetapi seperti dugaanku dia tidak bisa, apalagi jika harus menginap. Ia masih berkutat dengan konflik antar mantu dan mertua. Akhirnya pilihanku jatuh pada Tiana, akan aku paksa dia dengan seribu bujukan karena ia single dan tidak punya tanggung jawab apapun. Tiana akhirnya menyerah dan bersedia ikut. Dengan catatan dia tidak mau jadi kambing conge.
Perjalanan mulur satu jam karena Tiana terlambat datang, Key sudah tidak sabar, Mukti turut manyun. Tetapi mukanya cerah ceria ketika melihat siapa yang aku ajak, kepalanya langsung bertanduk, lidahnya langsung bercabang, dan hidungnya langsung mengeluarkan asap.
Pejalanan berjalan lancar, semuanya gembira. Mungkin aku satu-satunya orang yang sedikit tertekan, hingga akhirnya aku merasa rugi sendiri dan memutuskan untuk turut menikmati, tanpa peduli apa yang akan terjadi.
Perjalanan tiga jam setengah jadi tidak terasa karena mobil yang ditumpangi sangat nyaman, nyaris tanpa guncangan meski kini kami melewati jalan berbatu menuju rumah sekaligus tambak milik ayah.
Pemandangan tidak seindah ketika terakhir aku berkunjung, sawah-sawah yang biasanya terhampar hijau baru selesai dipanen, menyisakan tumpukan-tumpukan jerami berwarna kuning. Tidak ada satupun petani terlihat menggarap sawah, mungkin mereka masih bersantai seusai panen yang melelahkan sekaligus menggembirakan.
Cuaca pukul setengah dua belas siang sangat menyengat ketika kami turun dari mobil, dengan kaos berkrag dan celana jeans ayah berjalan cepat menyambut kami. Ayah terlihat segar dan gagah, alam pedesaan, udara yang bersih dan riak air dari empat kolam yang berjejer membentuk tangga telah menarik ayah lima belas tahun lebih muda.
Ayah langsung memeluk Key, Mukti dan aku.
“yang mana yang sebentar lagi bakal jadi calon mantuku?” tanya ayah dengan pandangan jahil.
“enggak ada!” jawabku ketus.
“do’ain aja yah!” celetuk Mukti sambil nyengir.
Ayah menggandeng punggungku, “yang perempuan, temen kantor aku yang dirayu sepanjang jalan sama si Mukti!” kataku ketus. “Yang laki! Masa ayah enggak inget, itukan Erik temen SMA dulu!” aku menjelaskan.
“dulu temen SMA!?” goda ayah sambil mendekat dan menyambut Erik dan Tiana.
Rumah ayah telah banyak berubah, dan telah layak disebut rumah. Ketika pertama kali aku menjenguknya ke sini, rumah itu hanya satu petak kamar kecil dengan dapur kotor berada di depannya. Lengkap di dalamnya dengan ayah yang masih kurus dan layu, saat itu sangat pilu memandang keseluruhan paket kehidupan ayah yang baru. Hingga ingin sekali aku menemaninya di sini, jika tidak ingat pada Key yang masih balita saat itu.
Kini aku bahagia luar biasa, melihat ayah yang penuh gairah kehidupan beserta rumah yang asri seperti sebuah Villa, Berdinding bambu kajang yang unik, dengan atap daun kelapa. berada diatas kolam ikan yang paling besar, dan kita harus melewati jembatan sepanjang empat meter untuk mencapai rumah tersebut.
Ada lima orang tamu di teras rumah ayah, salah satunya aku kenali sebagai pak Wahid rekan ayah. dua orang wanita, salah satunya masih muda dengan dua rantang susun di pangkuannya.
“Ayah tinggal sama siapa di sini!” tanya Mukti.
“si Kadur, pegawai yang dari kecil ikut ayah itu, udah bujang dia sekarang!!” jawab ayah.
Aku tersenyum menyapa para tamu itu, serempak mereka berdiri menyambutku.
“Nah, pak Ujang ini anak-anak saya!” ayah memperkenalkan kami pada lelaki yang paling tua, “Ini Mukti, anak ke dua! Nah ini, yang sering saya ceritakan neng!” ayah menghadapkanku pada wanita muda itu. “ini Yasmin! itu putranya! Siapa namanya?” ayah meminta Key menyebutkan namanya.
“Keinan! Dipanggil Key!” ucap Key.
“Mereka ini turunan jawa, tapi enggak ada satupun yang bisa bahasa Jawa! dari kecil tinggal di Bandung! Enggak juga bisa bahasa Sunda! Heran saya sama mereka, he…he…!”
Wanita muda itu meletakan rantangnya, dan berdiri menyalami aku, lalu yang lainnya. Rambutnya keriting mengembang, sebenarnya wajahnya cukup manis dengan tahi lalat diujung hidungnya jika tanpa make up yang terlalu menor. Kelopak matanya merah, pipinya terlalu merah untuk ukuran blash on sehari-hari, bibirnya merekah seperti cabe matang. Selintas wanita itu seperti ronggeng jalur pantura, padahal dari sinar matanya sangat jelas terlihat ia masih belia. Mungkin tidak lebih dari dua puluh tahun usianya.
Hanya wanita muda itu yang berdiri menyalami kami, yang lain cukup mengangguk di tempatnya masing-masing.
“Yang ganteng dan cantik ini kawan-kawan mereka!” lanjut ayah sambil menepuk bahu Erik.
“Ayo nak Erik, Tiana silahkan duduk!” tiga orang dari mereka berdiri dan mempersilahkan kami duduk.
“Enggak, enggak apa-apa pak! Biar kita ke dalam aja! Mau istirahat!” jawabku.

Entah datang dari mana, tiba-tiba makanan berat yang menggiurkan telah tersaji diruang tamu, tanpa larak lirik semua langsung menyerbu, termasuk Key yang biasanya sulit diajak makan. Sementara ayah masih berbincang dengan dua tamunya yang besisa.
Suara tonggeret menggiring hari menuju senja, sepoi angin sejuk menerbangkan daun-daun kering. Riak air adalah satu-satunya musik yang paling merdu. Angin Meniup kolam ikan yang tenang, ayah mengajakku ke kolam yang paling bawah. Memperlihatkan empat kolam kecil yang berjajar tempat pembenihan ikan.
 “Di Bandung lagi musim apa Min?” tanya ayah.
“musim galian kabel!” jawabku asal. Ayah tertawa.
“Si Banna ada kabar enggak?” tanya ayah. Kenapa Banna yang jadi topik pembuka setelah kita tidak pernah berbincang hampir satu tahun. Aku hanya menjawab dengan gelengan.
“emang anaknya enggak nanyain!?” aku kembali menggeleng.
“Yah! Si Keinan itu bakalan jadi orang yang tangguh! Seperti kamu!” puji ayah. Dua tahun terakhir ayah sering memuji anak-anaknya, ketika dia sadar kami bisa lebih kuat dibanding dirinya ketika ibu meninggal. Terlebih lagi padaku, setelah aku bercerai dari Banna, dan tidak ada keluarga yang mendukungku secara langsung. Dia sering tidak menyangka, bahwa kami anak-anaknya memiliki mental yang lebih baik darinya. Yang rapuh dan labil.
“Kalau mau mulai lagi, jangan nunggu terlalu lama Min! kamu udah 31 tahun!” saran ayah sambil ia terus memainkan anak-anak mujair.
“enggak niat!” jawabku.
“belum niat!” ayah memperbaiki kalimatku.
“Erik itu laki-laki yang baik! Dulu ketika kamu masih pacaran sama si Banna, ibumu agak kecewa! Lalu dia ngomong sama ayah! coba Yasmin deketnya sama si Erik yang temen SMAnya itu! lebih sopan! Lebih rapih! Lebih luwes! Kata ibumu!” bapak membetulkan posisi baskom dihadapannya. “Lalu ayah, ngebela kamu! Tapikan si Banna lebih laki-laki! Jawab ayah waktu itu!” mata ayah mengkilat dari air mata yang menggenang.
Dan ternyata yang terlihat lebih laki-laki tidak lebih bertanggung jawab dari yang biasa saja. Desisku dalam hati.
“Erik itu laki-laki yang baik!” ayah kembali mengulang kalimatnya, “kalau dia memang tidak cinta kau! Tak mungkin ia menunggu kamu sampai janda!” semakin sore bicara ayah semakin ngawur.
Aku yakin pendapat ayah salah total, karena aku selalu melihat binar bahagia setiap Erik jatuh cinta pada perempuan, baik itu jadi pacarnya ataupun tidak.
“Duh! Ayah makin ngaco deh!” sanggah ku. “ dia ke sini Cuma nganter! Mobil aku enggak kuat dibawa ke sini! Mobilnya Mukti enggak tahu lagi di mana!” aku melindungi Mukti, karena jika ayah tahu saat ini mobil Mukti sedang di gadaikan pasti dia akan marah atau khawatir karena anaknya sedang menghadapi masalah keuangan.
“Eh, jangan salah! Ayah tuh sering lho nelpon ke rumahmu siang-siang! Kalau Key baru pulang sekolah! Anakmu itu cerita penuh semangat kalau dia lagi ceritain Erik! enggak ada Banna sedikitpun diotaknya!”
“memori anak-anak itu masih sederhana! Siapa yang sering muncul, dialah yang di ingat!” jawabku.
“Nah! Berarti kalian sering ketemu kan!” aku langsung memotong kalimatnya.
“Ayah! aku sama Erik enggak ada apa-apa!”
“Tapi Erik itu cinta sama kamu dan Key, Min!”
“Terserrrrah….!” Kataku mengakhiri. Selanjutnya aku tidak merespon sedikitpun setiap pembicaraan ayah mengenai Erik, Banna atau laki-laki lain. Akhirnya ayah merubah tema pembicaraan pada sesuatu yang lebih mencengangkan.
“Jadi kamu belum ada niat nikah lagi?” tanya ayah. aku hanya menggeleng.
“ya, udah ayah duluan aja kalau gitu!” sontak aku langsung menatapnya.
“ayah mau nikah lagi?” ayah mengangguk.
“Kapan?” tanyaku.
“Besok!” jawab ayah singkat
“Mimpi!” gerutuku
“Besok Min!” ayah meletakan baskom yang ia bawa tanpa digunakan dari tadi.
“sama siapa?” tanyaku
“perempuan yang tadi!”
“yang tua?” tanyaku
“yang muda!”
“mati!”
“Yah! Kalau enggak jadi ayah memang bisa mati!”
“ayah!” teriakku. “kenapa ayah enggak minta pendapat aku sama Mukti!”
“yah ayah pikir, kalian udah punya kehidupan sendiri yang mapan! Jadi kalian pasti setuju! Ayah pengen ada yang mengurus! Kalau di urus pembantu takut jadi dosa! Mending diurus istri! Karuan malah jadi pahala! Ya buat dia, juga buat ayah!” ayah menjelaskan
“Kenapa enggak nyari yang sepadan! Yang agak tuaan kek!”
“Dapet yang tua! Eh dia malahan nunjukin yang muda! Yah ayah pilih yang muda!
Aku ternganga memandang ayah, masih tidak percaya dengan niatnya.
“Ayah!” panggilku. “Apa ayah enggak inget sama ibu?” tanyaku memberanikan diri.
Kini gantian ayah yang tertegun, ia memandang bibit-bibit ikan dihadapannya.
“Ya ingat! Tapi kalau ingat ya rasanya mau ikut mati! Tapi kok ayah enggak mati-mati! Mending cari penyemangat aja buat hidup! Biar serasa mau hidup seratus tahun lagi!” jawaban ayah terasa ngawur bagiku, tetapi mungkin memang demikian seharusnya motivasi bagi yang pernah hampir mati.
“Ayah, gadis itu bahkan jauh lebih muda dari Mukti!”
“Aia janda!”
“Hah?”
“Umurnya 24 tahun, dulu dia nikah umur 18 tahun! Di cerai sama suaminya karena enggak hamil-hamil!”
“Kalau sama ayah dia enggak hamil juga!?”
“Ayah enggak butuh dia hamil! Ayah enggak terlalu kepengen punya anak lagi! Udah cukup ayah ngurus kalian dulu! Kalau mau anak kecil! ayah tinggal nunggu dari kamu sama Mukti aja! Ayah menjelaskan. “Titik berat pernikahan kami bukan pada itu!”
“Tapi?”
“Kita ingin saling melengkapi!”
Kalimat ayah yang terakhir seperti bukan keluar dari pria berumur enam puluh tahun, yang telah bercucu. Ayah tengah dimabuk cinta, entah puber yang keberapa. Kata-katanya syahdu, bermakna dalam.
Kekuatan cinta sungguh dahsyat luar biasa, dapat menjadikan jiwa yang merana jadi memanas penuh semangat. Hari-hari jadi bergelora lupa pada usia yang hampir uzur, pada kenangan masa silam. Entah aku harus bersikap apa, aku tak kuasa menolak tapi juga tak sampai hati mengiyakan, semua alasan yang ayah sampaikan terdengar logis. Bagaimanapun ia berhak memiliki kehidupan baru seperti kami.
Sejak awal ayah tidak bertanya tentang pendapatku, jadi meski aku menolak ia akan tetap menikah besok pagi. Terbayang wajah ibu dihadapanku, potret-potret ayah dan ibu yang tengah bercengkrama bahagia terasa akan tercerabut dari ingatanku. Semua ini terlalu tiba-tiba.

Usai berbicara denganku, ayah memberitahu Mukti, diluar dugaan Mukti menolak keras niat ayah menikah lagi. Aku mengira ia tidak akan ambil perduli seperti ketika ia menyikapi perceraianku dengan Banna. Tetapi ternyata tidak, Mukti menuduh ayah tidak setia pada almarhumah Ibu, ayah mau menang sendiri, lupa pada saat-saat ia putus asa setelah ibu meninggal. Kini setelah semuanya pulih ia memilih berbahagia dengan wanita dari dunia antah berantah yang tidak kami kenal.
Mukti uring-uringan tidak karuan, mengajakku pulang malam itu juga, tapi aku tolak. Ayah meninggalkan kami dengan berjalan-jalan bersama Key, entah ke mana. Aku yakin pikirannya juga turut kacau, malang nian nasib calon mempelai pria itu, mendapat ujian semalam sebelum hari pernikahannya. Senyumnya kecut, wajahnya murung tidak secerah siang tadi.
“Perempuan itu masih kecil banget! Paling baru lulus smp, atau mungkin smp aja enggak tamat!” umpat Mukti marah.
“Dia 24 tahun, janda!”
“Hah, janda?! Semuda itu!”
“Emang kenapa kalau janda?” aku balik bertanya dengan mata tajam menyorot pada Mukti. Ia terdiam.
Dalam hati kecilku, aku belum menyetujui pernikahan ini. tapi aku kehabisan kata-kata untuk melakukan penolakan. Demikian juga dengan Mukti yang kini berdiri di pintu masuk.
Erik dan Tiana terjebak diantara amarah kami, mereka telah mengetahui persoalannya tetapi juga tidak berani untuk berkomentar apalagi mengemukakan pendapat. Ruang tamu berdinding bilik bambu ini turut membisu, bersama empat nyawa didalamnya.
“Pantes aja ayah maksa kita datang hari minggu besok, taunya mau kawin!” Mukti mulai berkicau lagi. “Coba! Kalau kita enggak bisa dateng! Ya udah! kita enggak akan pernah tau kalau kita punya ibu tiri!” Mukti berdiri, dan duduk didepanku. “Mimpipun enggak! bakalan punya ibu tiri!” Mukti memandang ke arahku.
“Aku enggak setuju!” Ia melengkapi omelannya.
“Setuju, enggak setuju ayah tetep nikah besok pagi!” aku mulai buka mulut lagi. “Lah semua udah direncanain, orang-orang KUAnya besok bakal pada dateng! Hari ini udah pada masak-masak di rumah si cewe itu! enggak lihat apa! tadi dia bawa rantang, ngirimin kita makanan! Makanan buat hajatan besok!”
“Ya ngapain kita datang ke sini, kalau pendapat kita enggak didenger! Mukti masih sewot.
“Ya, kita kan Cuma complementry! Pelengkap! Enggak adapun enggak apa-apa! Ibarat kerupuk di nasi rames! Enggak adapun perut tetep kenyang!” kataku asal, berusaha melihat masalah ini dari sudut pandang yang lebih ringan.
Mukti tertawa sinis.