CERPEN


Ketika Waktu Memilih
Oleh : Asnazain

            Sinar matahari menggelitik muka dan leherku hangat, dari lantai lima rumah sakit mobil mobil nampak seperti serangga berwarna warni dalam antrian yang apik.
            Lebih dari satu minggu trombosit yang berputar dalam tubuhku belum kunjung mau naik, hingga observasi lebih intensif harus dilakukan sejak empat hari yang lalu, dan tadi malam hasilnya telah keluar, tapi Dr Eddy, ayah maupun ibu belum mau memberitahukan hasilnya, bahkan ibu tidak sempat masuk dulu ke ruang perawatanku tadi malam. Ada rasa takut sampai semalaman sulit tidur, nyaris sama seperti dulu semalam sebelum pengumuman UMPTN mau keluar.  Tapi entah dari mana tiba tiba pagi ini rasa tenang menyeruak dari hati, lalu hati mengirimkan kabar baik ini ke kepala, mata dan perut, hingga perut menjadi lapar dan mata menjadi ngantuk.
            Hampir dua minggu juga aku tidak mengecek email, pasti mailboxnya sudah penuh terutama dari Pasha, yang tiap hari rajin kirim email dan kadang lebih dari satu kali, demi memenuhi janjinya dulu waktu belum pergi meninggalkan Indonesia, kalau tidak bisa chatting, ya pasti kirim email meski isinya cuma “Woooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii”.
            Pasha sahabatku sejak kecil, kita tidak pernah satu sekolah hal itu yang membuat kita banyak teman, temanku pasti menjadi teman dia, begitu juga dia selalu memperkenalkan teman dan pacar pacarnya pada ku. Bocah bule depok julukan dia waktu kecil, nyaris sempurna dengan hidung yang ia jiplak abis dari ayahnya dan rambut hitam ikal milik ibunya, selintas ia mirip Surya Saputra mmhhh. Empat tahun lalu ia harus ikut ayahnya tinggal di Jerman setelah ibunya meninggal, jadilah aku 100 % kesepian sekarang. Sahabat kita Rido pernah cerita bahwa Pasha nyaris menyatakan suka sama aku waktu kelas dua SMA tapi ia kulum saja niatnya itu karena takut hubungan kita tidak seasyik seperti kita sahabatan, Pasha memang tidak pernah tahu di kerak hatiku sebenarnya aku ingin lebih dari sekedar sahabat.
            “ Hai, sayang ” sapa ayah yang baru datang, aku tersenyum kaget karena seingatku selama aku jadi anaknya ayah tidak pernah so romatis romantisan sama anak satu satunya ini, ayah menyimpan tas laptopnya di atas pangkuanku dan mendorong kursi rodaku ke kamar.
Ayah memasang laptopnya lengkap dengan modemnya diatas tempat tidurku. Dan aku hanya memperhatikan tanpa berkomentar.
            “Yah!”
            “Mmmhh” tanpa menoleh kearahku.
            “Kata dokter, Dian sakit apa?” Ayah tidak menjawab, sampai aku mengulang pertanyaanku tiga kali.
            “Oh, itu, ntar dulu ya” jawabnya singkat. “Mau ditaro dimana nih laptopnya?” sambil terus membelakangiku. Aku hanya memanyunkan mulutku.
            “Emang mau ditaro disini, yah?” ayah mengangguk sambil tersenyum. “Buatku?” tanyaku meyakinkan, ayah mengangguk semakin dalam. Pagi yang aneh, menyentuh laptopnya saja aku kadang diomelin, eh sekarang malahan menyimpannya di rumah sakit untukku, spesial untukku. Aku lupa untuk mengucapkan terima kasih aku masih mengolah keheranan ini dalam benakku.
            “Senang ngga, come on, lihat, pasti mailboxnya udah penuh dari sohib sohib kamu yang gak berenti berenti nelponin ke rumah” kata ayah semangat.
“O’yah, siapa aja yang nelpon kerumah?”
            “Tadi malem sih, Meita sama Rido, nanyain keadaan kamu, maaf katanya belum bisa nengok lagi”
            “Kemaren siapa?”
            “Kemaren, si ibu tuh yang tahu” kata ayah sambil menghampiriku. “Nggaa, Pasha belum nelpon, kamu belum kasih kabar ke dia ya? cepetan sana kasih tau!”
            Aku menyalakan laptop yang berada di tempat tidur dan menyimpannya diatas pangkuanku, mailboxku berisi 25 email, sebagian besar dari Pasha, beberapa aku baca sambil lalu, awalnya email dari Pasha isinya hanya menyapa biasa, tapi lama kelamaan berisi kekesalan karena aku tak kunjung membalas email-emailnya, ada satu email Pasha yang panjang lengkap dengan beberapa foto.
            Pasha bercerita bahwa ia berkunjung ke Gedung Parlemen Jerman menemani ayahnya, gedung yang cantik berwarna biru turqoist dengan arsitektur yang rumit, gedung yang sering dia banggakan dalam email emailnya, ia juga bercerita bahwa ia datang ke sebuah festival dan ada stand Indonesia. ketika ia mengunjungi stand Indonesia tersebut dan memilih beberapa souvenir ia bertemu dengan pak Habibie, mereka mengobrol dengan bahasa Indonesia panjang lebar, bahkan Pasha mengajak ibu Ainun berbicara bahasa Sunda, mereka pasangan yang menyenangkan dan bersahabat.

From : Dianissa_Anggani@yahoo.com
Subject : Gue TKP (terkapar….)
Date : 7 Mei 2006
Sha, seminggu lebih gue sakit, katanya DB. Trombosit gue anjlok terus. Wah…seneng banget lu bisa masuk ke gedung parlemen, kalo gue disini paling nyampe ke depan gedungnya sambil orasi and bawa spanduk. Salam hangat dan senyum yang paling manis kalo lu ketemu lagi ama pak Habibie, sampein ke dia, diminta pulang, di negri kita lagi banyak kemelut dari recoveri tsunami dan gempa yang banyak masalah, sampe sumur yang terus terusan muntah lumpur. Ntar malem on-line lg, nyok.
Dian’s

            Aku  mengklik tombol send, dan menutup laptop untuk menyapa ibu.
            “Gimana Di” sapa ibu yang baru tiba.
            “Lumayan, bu lihat ayah minjemin laptopnya lengkap ama modemnya, keren ya, bu”
            Ibu hanya menjawab dengan anggukan dan senyum lesungnya.
            “Dian, Dr Eddy udah kasih hasilnya”
            “Iyah, bu, aku pengen tau, gimana bu hasilnya?”
            “Di, harus sabar ya, kamu harus kondisikan dulu diri kamu” kata ibu pelan dengan mata mulai memerah. Aku semakin penasaran, dua orang tercinta di hadapanku memasang muka bingung dan sedih, kalau aku yang jadi objek memasang muka lebih sedih mereka pasti lebih terpukul lagi, huph……aku pasti kuat. Si belang mati tertabrak aku kuat meski sedih berhari hari, eyang putri meninggal aku masih kuat meski shock berminggu minggu, Pasha sahabatku pergi jauh aku kuat meski kesepian sampe sekarang, dan kini tentang diri aku sendiri.
            “Tidak mudah untuk menerima ini bagi ibu, ayah dan pastinya untuk kamu”
            “Oke, aku jadi makin penasaran, siap bos” kataku ceria memecah ruangan yang terbawa menjadi pilu. “ayo dong yah, apaan sih?” aku merajuk.
            “Dian, usaha kita untuk membuat kamu pulih lagi baru dimulai, kita harus berusaha lebih keras lagi, dan kamu harus semangat menjalaninya, yang paling penting kamu mesti sabar” kata ayah sedikit terbata bata.
            “Dian sayang, masalah darah yang pernah kamu alami waktu kecil ternyata kembali lagi, kembali dalam bentuk yang lain, leukemia sayang, yang bersarang didalam tubuhmu” kata ibu dalam banjir air mata.
            “Kanker”
            “Aku terpilih untuk jadi pengidap kanker” paru paruku nyaris tidak bisa menangkap oksigen yang berkeliaran, jaring jaring mataku berhasil menjerat air mataku yang hampir jatuh, hati ku mengkerut sebesar biji semangka. Aku lama tidak bereaksi tapi aku yakin mukaku pucat pasi.
            “Di, dian sayang” sapa ibu dengan lembut. “menangislah di, jika kamu ingin menangis, tumpahkanlah semua, jangan kau simpan sendiri”
            “Pertarungan, baru akan dimulai bu, belum ada yang harus ditumpahkan” kataku datar.
#
            Rekalino_P berkedip kedip mengajakku bermain diangkasa, tapi aku hanya mampu melipat lututku untuk ku peluk, sengaja aku tidak ingin ada yang menemani, aku ingin menikamati waktu, udara dan cahaya sendirian, untuk mempersiapkan esok ketika mereka akan mengambil sum sum tulang belakangku.
#
            Pengobatan tahap awal tidak berhasil, sudah puluhan kali matahari terbit sampai aku tidak bisa menghitung sudah berapa lama aku berada di sini. Dan akhirnya pilihan jatuh pada si kemo, kemoterapi. ibu mengeluarkan semua kaca di kamar perawatanku, ia tak tega aku menyaksingan langsung mukaku yang semakin tirus, kulitku yang mulai hitam dan keriput plus rambutku yang bersisa hanya beberapa helai.
Aku senang aku merasakan kesakitan ini ketika aku masih hidup, masih ditemani ibu yang tidak pernah berhenti tersenyum menyemangati, bersama ayah yang jadi sangat sangat romantis, berubah 180 derajat. Aku tinggal menuai bahagianya kelak ketika ruanganku tidak lagi seluas 5 x 5 meter, melainkan hanya sepanjang badanku dan setinggi sang penggali.
            Alamat emailku sudah kadaluarsa, aku buka lagi yang baru dan langsung kontak Pasha, kalaulah anak itu ada di sini ia pasti punya serum untuk menyuntikan semangatku lebih banyak lagi.

Subject : Alllooooooooowwwwwww
Date : 1 Agustus 2006
Subject : reinkarnasi

Alllloooooooooooooooowwwwwwww
Sorry, gue sibuk banget. Bukan lupa tapi bener bener lagi sangat sangat riweuh. BTW. Lu masih inget gue kan
Dian’s
            Tidak kuduga pasha langsung Reply, dan langsung mengajakku on line.

Pasha : Kemana aje, neeeng. Lu tertelan asap. Yang sampe hari ini sudah mencapai 414 titik api.
            Api hatiku membara dan semakin membara, inget lu. Hhaaaaaa……..
Dian :   Iya neeeh. Otak gue juga lagi mengepul inget lu.
Pasha : Gue kira gue yang harus minta maaf, coz. Gue juga pergi ke kampungnya si babe. Eh pas
gue cek email. Ga ada satupun dari elu.
Dian : Whattt. Di Jerman ada kampung?
Pasha : Ada, sama aja kaya dikita adem, sepi, perbukitan, rumahnya jarang jarang tapi viewnya di
olah jadi lebih indah. Kurang lebih kaya Puncak 40 tahun yang lalu lah. Asri tapi nggak
hiruk pikuk and banyak kios liar. Jalanannya dibingkai pohon pohon besar, kayak belakang
gedung sate waktu jalannya masih bagus bin mulus.
Dian : Asyik banget……………………..mauuuuuuuuuuuuuuuuu……………
            Aku lagi merintih rintih kesakitan, si Pasha malah lagi liburan. Ooooooooooo kejamnya.

Dian : Sha, kapan lu kembali ke sini, balik dooong. Sepi. Lu nggak kangen ama cikonde en lotek
Cik Anyet.
Pasha: Pengen sih, tapi nggak tau kapan. Kenapa lu ngga bilang aja sih, lu yang kangen…….he…..
Dian : Jangan geer deh, bung………
Dian : Sha, meski bokap lu orang sono, tapi nyokap lu kan asli pribumi, lu malah lahir di Cikonde,
gede disini, belajar motor di lapangan Situheulang yang berdebu, ampe terkencing kencing
waktu ngetawain si Budi jatoh.
Pasha: Lah dulu kan elu sendiri yang ngedukung gue baikan ama bokap terutama setelah nyokap
gue meninggal, yah syaratnya gue ikut dia disini.
Berbagi rumah sama Oom Upay dengan bonus bininya yang bawel amit amit, itu nggak enak banget. Meski itu rumah nyokap biar gue ihlasin aja buat Oom Upay. Kalo gue ngkos kiriman bokap sering telat,
Ngandelin honor di warnet sarang lebah Cuma cukup untuk makan tiga hari sekali. Sumpah gue
sebenernya betah banget tinggal disana, sama lu he………………………………
Dian: Dulu tiap sekolah lu selalu gabung ama paduan suara, banyak nyanyiin lagu wajib nasional.
Kata lu, biar lu lebih nasionalis, biar tampang bule tapi nasionalis.
Pasha : Duhai Didi, yang nyaris jadi kerdil dengan pikiran pikiran lu itu, nasionalisme yang tinggi
bukan berarti harus selalu berada dalam perut ibu pertiwi, dan elu, buat cinta sama nyokap
lu, ga melulu elu ada dalam rahim nyokap lu kan, gue juga, buat sayang sama nyokap lu
yang bukan siapa siapanya gue, ngga harus asli keluar dari rahim nyokap lu kan. Justru kalau kita udah keluar, udah jauh, nasionalisme kita lebih tinggi. Kita pasti kangen banget, kangen sama lu yang bawel, kangen Jakarta yang macet, Bandung karena makanannya yang enak enak, Cikonde yang pohonnya lebat lebat plus kalau agustusan ramenya kayak pasar malem. Tapi jujur gue sering ngerasa keenakan dengan segala fasilitas dan keteraturan yang ada disini, bayangkan oprasi by pass jantung aja gratisan dibayarin pemerintah, kalo di Indonesia mmmhhhhh…jangan ditanya. Bisa ngabisin warisan tuh. Emang ngga sedikit gue nemuin orang kita disini yang males pulang karena kemapanan disini, mudah mudahan gue nggak termasuk deh.

            Kembali waktu melahap detik tak bersisa, aku membujuk Pasha untuk pulang sampai badanku merasa letih dan mensudahi, ia tetap masih belum ada niat untuk balik, rasanya cengeng sekali kalau aku terus merajuk dan lebih cengeng lagi kalau aku memberi tahukan dia tentang sakitku dan kondisiku yang nyaris seperti tuyul dalam kursi pesakitan.
#
            Kondisiku mulai membaik, anak anak rambut sudah terasa geli ketika aku meraba kepalaku, aku boleh pulang tapi seminggu di rumah suhu badanku melonjak 40 derajat celcius dua hari berturut turut hingga aku harus kembali berada di atas tempat tidur dengan tombol 2 warna disisi kananku dan tombol pemanggil di atas kepalaku.
            Ada album Coklat yang baru, isinya lagu wajib yang arrange ulang dalam alunan yang keras, pasti Pasha suka. Aku minta ibu mencarikan kaset yang berisi lagu wajib nasional, setelah kerja keras nyari sampai emperan akhirnya ibu mendapatkan kaset tersebut, dengan bungkus yang lusuh dan cover yang kucel dengan gambar bendera Merah Putih berkibar gagah, semoga semangat merah putih dalam diriku untuk melawan sakitku tidak akan pernah kucel. Sangat surprise ketika aku melihat tahun peredaran kaset tersebut, 1984 sama dengan tahun kelahiran ku dan Pasha pastinya, tapi sayangnya ketika aku mendengarkan kaset tua itu di tengah-tengahnya ada rekaman siaran sepak bola dari radio yang entah sepak bola tahun berapa, lumayan sekitar tiga sampe lima menitan, tapi tak apa apa secara keseluruhan suaranya masih cukup bagus. Lagu lagunya dinyanyikan dalam koor yang menggema penuh semangat.
Aku mengirimkan dua kaset itu kepada Pasha dengan paket yang super kilat, diperkirakan tiga hari lagi ia sudah bisa menerimanya,  semoga kelompok koor yang ada di dalam kaset tua itu bisa menyampaikan maksudku dengan baik untuk meminta dia pulang, jika tidak pulang untuk menemaniku setidaknya dia pulang untuk negri kelahirannya.
#
Merdekaaaa……………
Gue emang udah ngedown load beberapa lagu coklat, but thank’s a lot untuk kasetnya nyari disini K-ga ada. Tapi gue nggak kebayang lu dapet kaset tua itu, ampun deh, lu emang gue banget, air mata gue saling berdesakan mau keluar waktu gue ngedengerinnya, tapi kenapa tiba tiba ada Ajat Sudrajat ditengah tengahnya. Tapi selamat lu udah berhasil buat gue kangen pulang. And kangen elu. Dan satu lagi, akhir akhir ini perasaan gue ngga enak, lu baik baik aja kan?
Gue pasti pulang, dua tahun lagi sekolah gue mudah mudahan kelar.
Pasha

            Pasha, air mataku bukan lagi saling berdesakan minta keluar, tapi mereka telah tumbuh jadi liar, mereka keluar tanpa ku minta, meleleh seperti lilin yang terlempar kedalam kobaran api unggun. Seperti itulah diri ku kini, kian meleleh dan semakin letih. Pasha begitu optimis untuk jumpa dengan ku dua tahun lagi, sementara aku untuk dua jam saja aku tak mampu berkhayal lagi.
#
            Aku seperti telah terlepas dari daging dan tulang belulangku, dadaku di hentak hentakan, aku kesakitan tapi tak sanggup merintih. Beberapa kabel berbagai ukuran saling melintang diatas dadaku seperti akar akar pohon semanggi yang merambat, selang sebesar ibu jari dimasukan ke dalam mulutku melewati tenggorokan dan menghentak perutku dari dalam, sepasang selang dimasukan kelubang hidungku, aku yakin tampangku seperti kerbau pembajak. Rasa sakit yang kurasakan sudah berada di luar skala rasa sakit, kalau sakit gigi berada pada poin 2, maka rasa sakitku melonjak mendekati poin 100.
#
            “Di, Didi, Dian, Dianisa” sebuah suara memanggilku dari tidur yang melelahkan. Aku hanya memiliki energi untuk mengangkat telunjukku, sementara untuk membuka mata aku masih bersusah payah.
            “Dianisa sayang aku pulang”  aku buka kelopak mataku perlahan, otak ku masih belum berjalan normal, aku masih lupa siapa yang berada dihadapanku tapi aku merasakan hangat air mataku saling berhamburan. Ketika otak ku masih belum mampu menangkap laporan dari retina mata dan telingaku, hatiku sudah terlebih dahulu tahu siapa yang berada disampingku bahkan ketika penglihatanku masih dipenuhi berjuta titik kabut.
            Aku masih belum mampu banyak bicara, satu persatu aksesoris medis dilepaskan, terasa plooong. Pasha menemaniku tanpa absen, dia menambah koleksi kartu posku dan setiap hari menyuntikan vitamin semangat untukku, aku dilarang bertanya kenapa ia bisa tahu dan balik ke Jakarta karena suatu hari ia akan cerita tentang kisah ajaib itu, setiap kali Pasha mendengarkan kaset tua pemberianku aku menjelma menjadi magnet yang menariknya untuk pulang. Dan aku hanya diperbolehkan tersenyum dan mengangguk, sementara dia terus komat kamit dengan omelannya karena aku tidak mengabari bahwa sebenarnya aku sedang sakit parah.
            Dua minggu setelah aku jadi putri salju yang kemudian dibangunkan oleh pangeranku, aku boleh pulang dan rambutku mulai tumbuh teratur meski keras seperti ijuk.       Hangat matahari itu kembali aku rasakan, dan kini aku kembali menjadi bunga bersama kumbang yang telah ku cinta selama hampir 16 tahun, tangan yang mungil itu telah menjadi tangan yang kokoh menggamitku, badan yang kecil itu telah berubah menjadi badan yang tegap melindungiku dari rasa sakit yang ternyata tidak mau kompromi untuk jangan kembali dulu. Sulit sekali menjangkau jam dinding untuk menahan jarum detik agar berhenti berputar.
            “Minumlah madu ini untuk menambah energimu Di” pinta Pasha dengan lembut, tidak banyak yang bisa aku lakukan kecuali membuka mulutku yang ada diantara tubuhku yang tengah berada dalam suhu 41 derajat yang melelahkan. Tiba tiba seluruh badan mengajakku untuk menegang, aku kepalkan kedua telapak tanganku dan aku tak mampu lagi mengontrol gerak liar kakiku yang terus menerus menendang tak karuan, aku menggigil kedinginan sangat kedinginan.
            Aku masih terjebak dalam kebekuan ketika aku diguncang tanpa kendali, aku masih bisa merasakan ketika Pasha memeluku erat dengan nafas hangatnya yang menghamburi tengkukku yang dingin, ada sesuatu yang tercerabut dari balik telingaku namun aku tetap masih terpenjara dalam tubuhku. Aku sudah tidak merasakan lagi letih dan panas tubuhku, mereka menyapaku dengan percakapan satu arah, ibu menciumiku dengan bibirnya yang basah. Kini putaran waktu itu hanya berhenti untuk ku tapi tidak untuk ibu, ayah dan Pasha.
Usapan eyang putri dikepalaku membuatku terbangun tetapi Pasha tetap melihat kearahku tanpa reaksi. “Tenang ya di, semuanya sudah diatur, kamarmu sudah wangi, wangi akar cendana”
            “Wahai mempelai para malaikat selamat datang”
            “Katupkanlah bibir manismu lalu bukalah mata jelitamu”
            “Sisa cintamu akan menerbangkan hatimu serta ke awan yang paling tinggi.”