Selasa, 16 April 2013

Sebuah Ruang untuk Berbagi



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgX_20ZOT3TLCCQQV7wzYVsxZO5STy6YGwZtVn2S_GpZQXvrrAZ5VgejNxCp3vVF28hNdetvGcXVC16hLhyRXfBVtGFdXJhtGxvMI_2cSAsPl34eGOaXFkTQQVcj3W-wiPqUwExX3BWhwY/s320/giveaway+banner+baw.jpg

               Barangkali belum sampai dua tahun saya bergabung dengan grup istimewa bawindonesia.blogspot. com, tempat siapapun bisa berekspresi dalam kata-kata. Dapat menjalin silaturahmi dengan sahabat yang tersebar di seluruh nusantara, bahkan ada yang tengah bermukim juga di luar negeri.
                Awalnya sedikit bingung, untuk ‘nyemplung’ mulai dari mana. Karena jika mengikuti obrolan dalam setiap thread  itu ramainya luar biasa. Diskusinya bisa panjang mengular kemana-mana. Tetapi karena kita tidak berhadapan wajah secara langsung, jadi tidak terlalu malu. Diwakilkan oleh nama dan PP maka mulailah saya dengan ‘kesotoyan’ saya suka ikut-ikutan merusuh. Nyelip-nyelip diantara diskusi, demi menyerap ilmu dan menguras wawasan para mentor untuk bisa kita ketahui juga.  –kita dapat ilmu, mereka dapat pahala karena berbagi ilmu tersebut- simbiosis mutualisme yang keren bukan?

                Di dalam BaW saya terkondisikan untuk bisa menulis atau membaca paling enggak satu buku dalam satu minggu –meski jika bukunya membosankan seringnya tidak tuntas-. Agar tulisan tidak terasa garing, begitu kata salah satu mentor di sana. Karena bagaimanapun menulis adalah pekerjaan berpikir, dan pikiran akan kosong jika tidak terisi nutrisi. Sementara nutrisi itu salah satu cara terbaik untuk mengisinya adalah dengan membaca. Membaca sebanyak-banyaknya buku, membaca status-status sarat hikmah. Membaca wajah para tetangga. Membaca alam dan gejalanya. Membaca keinginan anak-anak. untuk tiga terakhir itu hanya untuk melengkapi imajinasia saja
                Bukan hanya ilmu dan semangat untuk menulis yang saya dapat. Meski yang satu ini tidak ditawarkan secara langsung oleh BaW, mengalir dengan sendirinya seperti sebuah mata air yang mencari celah untuk mengelilingi dunia. Sebuah persaudararaan yang terikat dari obrolan dan diskusi. Bagaimana kami semua selalu saling menguatkan, saling memberi semangat dan mengalirkan energi positif. Bahkan saling mendoakan satu sama lain, baik untuk setiap karya yang tengah berjuang sendiri untuk menembus penerbit maupun saling mendoakan dalam mengarungi samudra kehidupan masing-masing.
                Bagaimana kami semua turut bahagia ketika mba Leyla sang kepala sekolah melahirkan putra ke tiga, mba Windi akhirnya dapat kepercayaan untuk menjadi seorang ibu. Nyai PD yang akhirnya pulang ke Indonesia. Belum lagi bagaimana kita berjingkrak  heboh di rumah masing-masing ketika setiap ada pengumuman lomba dan salah satu warga BaW yang menang, meski itu bukan diri kita sendiri. bukan nama kita yang tercantum , tapi itu BAW....itu warga BAW.....lalu ucapan selamat bertubi-tubi. Prestasi yang melecut warga lain untuk kembali mejejak gas demi meraih mimpi.


                Setiap cover buku yang diposting di hari kamis, selalu mendapatkan like dan untaian do’a semoga laris, semoga sukses dan kalimat baik semacamnya. Itu adalaha do’a yang teramat serius, yang akan melesat ke langit ke tujuah.  Yang akan menyertai setiap karya anggota BaW hingga buku itu terpajang di toko buku dan dibeli pembaca.
                Grup ini seperti sebuah kelas yang riuh. Hiruk pikuk oleh ide, pengalaman dan pertanyaan seputar kepenulisan dan kehidupan. Sementara sang kepsek tetap berjuang melayani disela-sela terikat tugas negara dengan tiga jagoannya. Juga mentor-mentor yang sibuknya enggak alang kepalang, diantara tugas domestik, pekerjaan tetap, karya mereka yang sejengkal lagi date line tapi juga masih menyempatkan  menjawab pertanyaan enggak penting saya yang Cuma nanya “mba Lyta pernah masuk ke rumah sakit Gleneagle, singapura enggak”  Huaaa....kebayang beliau yang harus jawab inbox sambil mata menatap layar komputernya. belum lagi mereka-mereka  yang saya todong dengan kata-kata permohonan yang lebay demi menjadi pembaca naskah saya yang lagi lagi enggak 'pede' yang akan dikirim ke penerbit.
                Meski....yak meskipun belum ada satupun tulisan saya yang terbit atau dimuat di media manapun, belum juga ada prestasi dimana nama saya tertempel saya terus menulis, mengirimkannya, gagal dan mencoba lagi. Impian saya seperti mengantri jauh di belakang, menunggu daftar tunggu berikutnya. Untuk saya berlari dan melompat tinggi dan lebih tinggi lagi hingga akhirnya undangan antitesa mizania itu menempatkan nama pena saya di salah satu 9 pilihan mereka. Daaan kebingungan besar menyerbu saya setelah merasa gembira. Bagaimana tidak? karena saya terbiasa membaca Ping, Ghostboomb (zaman SMA dulu) harus berhadapan dengan literatur sejarah sementara modal saya hanya beberapa buku Pramudia Ananta Toer saja.
                Namun seperti pandai besi yang menciptakan sebuah gembok yang pasti disertai anak kunci. Allah juga memberi tantangan beserta jalan keluarnya, melalui sahabat-sahabat yang bersedia membatu saya secara penuh. Dengan segenap rasa percaya meski kami belum pernah saling bertemu, mba Yeni Afifah Afra, mba Ade Anita dan teh Linda mengirimkan buku-buku yang luar biasa. Baik secara isi maupun ketebalannya. Mungkin jika telah datang seluruhnya kurang lebih 6 kilogram buku harus saya lumatkan menjadi sebuah karya. Semoga seberat itu juga dalam konversi  logam mulia alias mas, kebaikan berbalik kepada ketiga kakak-kakak hebat itu.  Aamiin.
                Dan akhirnya kesempatan berjumpa dengan sebagian kecil anggota BaW itu alhamdulillah terlaksana, dalam peluncuran buku milik mba Shabrina Ws yang jadi juara di lomba Qanita Mizan. Akhirnya bisa bertemu dengan mba Dhani, supporter yang tidak pernah lelah, kibar pom-pom setiap saya merunduk kehabisan spirit. Yusi sang perusuh, miss bussy dan hebring dimanapun berada. Juga foto model sekaligus photografer handal mba Aida, juga ada Risma “Marshanda” El-Jundi yang cantik. Mba Eni and family dan masih-masih sangat banyak lagi teman-teman BAW yang super duper keren. Daaan.....aneh qiqiqiqiiqii :P
                Meski kebahagiaan belum lengkap karena mba Leyla sang founder berhalangan hadir. Mba Anik, mba Ade dan beberapa anggota yang tinggal di kawasan jabodetabek yang juga berhalangan hadir. Saya tetap merasakan sensasi luar biasa, dari kopi darat pertama yang saya datangi. BaW is real. Nyata dapat diraba, bukan hanya perbincangan 'ge je' di dunia maya. Untuk kemudian berkarya bersama-sama. Saling bertukar inspirasi dan harapan. Hingga nanti ketika kita akhirnya menjadi cerita, dan hanya karya kita yang bicara.

Salam Karya. Sukses untuk Be a Writer Indonesia dan kita semua.


Kebahagiaan kami ketika peluncuran buku Always be in Your Heart yang di tulis oleh Shabrina Ws (keempat dari kiri berkerudung ungu muda)




Leyla Imtichanah Founder Be a Writer Indonesia
              Riawani Elyta dan Afifah Afra dua orang mentor dari sekian banyak mentor di Be A Writer

Rabu, 20 Februari 2013

LUPAKAN!!!

Saya tengah menemani seorang teman yang hatinya sedang hancur dan berdarah-darah. pernikahan yang belum genap 3 tahun itu harus berakhir, setelah hadirnya hadis kecil putri mereka. Sang suami yang dulu ketika masa pacaran begitu baik, dengan janji-janji manis bak syair-syair dangdut itu kembali ke mantan istrinya dan berbarengan menikahi perempuan lain. (total 3 wanita yang dijadikan istri, dalam waktu yang berdekatan). -maaf, saya menyimpulkan laki-laki seperti itu "sakit"-
Berapa hari sekali teman saya itu selalu mengeluhkan hal yang sama, seputar rasa sakit, kecewa, marah dan segalanya. saya biarkan dia mengeluarkan unek-uneknya, untuk kemudian saya beri saran-saran senormatif mungkin, agar dia bisa bangkit. tapi belum juga memberikan hasil yang baik, teman saya masih tetap marah-marah dengan alasan yang bermacam-macam tapi intinya sama "kekecewaan dia terhadap mantan suaminya itu" hingga semalam, saya mengingatkan dia dengan nada yang lebih keras dari biasa. dengan kata-kata yang lebih kasar agar dia benar-benar terbangun dari kubangan rasa sakitnya.

Saya menyaksikan dan menemani beberapa wanita yang terzolimi oleh para suaminya, dan teman saya ini terhitung yang paling parah dalam meluapkan kemarahannya.
saya menyimpulkan dari kasus beberapa teman termasuk kakak saya sendiri dalam melewati masa terluka karena sebuah perceraian.
1. Bolehlah satu tahun ia menangis, meratapi kemalangan nasib rumah tangganya, hingga air mata mengering, hingga tubuh hanya bersisa kulit dan tengkorak.
2. tapi setelah itu harus bangkit, bangun. lihat matahari masih bersinar sama setiap harinya, bersama ataupun tanpa laki-laki yang menyakiti kita.
3. kemudian para wanita tangguh itu menata kembali hidup mereka, mulai dari penampilan diri, cara bertutur, membuka kembali dirinya untuk pertemanan.
4. memperbaiki hubungan dengan anak-anak yang hatinya juga ikut terluka -jika anak-anaknya sudah mengerti, bahkan anak-anak yg belum mengertipun merasa kalau ibu mereka tengah bersedih-
5. menata keungan, menstabilkan pemasukan.
6. beberapa kasus berhasil karena bantuan keluarga besar. ibu atau saudara kandung. tapi ada juga yang bangkit seorang diri. Tentu saja jika tidak kuat menanggung sendiri, keluarga adalah satu-satunya tempat yang tepat untuk pulang.

Tidak semua laki-laki seperti  suami yang membuat teman saya hancur itu, tapi selalu saja ada oknum dari segelintir laki-laki yang baik. dan untuk para oknum itu anggaplah laki-laki yang sudah menyakiti, menelentarkan anak dan istrinya, memukul, menikahi banyak perempuan hanya karena nafsu, dan mengabaikan perasaan sakit istri pertamanya. anggap saja mereka itu seperti -maaf- kotoran, yang jika setelah kita keluarkan tidak pernah lagi kita tengok ke belakang.




ini mendiang kakak saya. satu-satunya kakak laki-laki yang saya miliki. foto ini diambil di hari pernikahan saya, dimana ia menjadi wali nikah saya.

entah kenapa saya begitu merindungannya malam ini.

Ya Rabbi...penguasa jagat raya...yang memiliki setiap resah dan kebahagiaan. terimalah ia di sisi-Mu, pertemukan ia dengan orang-orang pilihan-Mu

Jumat, 14 Desember 2012

Mayana tenggelam dalam cinta

saya mencoba belajar mereview novel mba Dian Nafi yang sekarang pasti sedang diperjalanan menjeput impiannya dari Demak ke Jakarta. inggih mba??
mumpung masih hangat, novel ini baru saya baca.
Mayasmara karangan Dian Nafi dan Artgusfaizal. buat saya sampulnya terlalu sederhana untuk novel yang memiliki kalimat-kalimat seindah itu. Biru, blek tanpa ada efek apapun. mungkin untuk memberi kesan penegasan atas sesuatu.
masuk ke dalam isi novel, saya dibuat tercengang dengan paragraf-paragraf kalimat mempesona yang panjang (saya mengatakannya bait-bait nyastra). meski rada berbelit hingga saya harus mengulang beberapa kali untuk sebuah paragraf, karena ketidakmengertian saya. Awalnya saya pikir tidak akan ada pesan islami di dalamnya, ternyata cukup kental dengan menghadirkan adegan umrah dan thawaf.
penjabaran cerita porsinya lebih sedikit dari deskripsi kegalauan si tokoh yang dituliskan dalam kalimat-kalimat nyastra itu.  mungkin karena terlalu lama saya tidak pernah lagi membaca buku yang sedikit berat. jadi lebih menyukai penjabaran cerita yang porsinya lebih besar.
Karena novel ini ditulis oleh dua orang, betul begitu?? ketika membacanya ada gaya bahasa yang berubah. dari yang tadinya bahasa formal menjadi lebih santai.
saya terganggu dengan pengutipan lagu-lagu yang berbahasa inggris yang dimasukan full lyrik, selain tidak mengerti karena bahasa inggris buat saya tidak memberikan apa-apa, selain mempertebal halaman. (maaf...) tapi kutipan-kutipan orang-orang bijak yang ada di bab TITLE saya suka meski pengemasannya sedikit monoton juga.
Novel ini peralihan point of viewnya sedikit membingungkan, Mayana, Nero dan narator. ada pada paragraf yang sama dari si narator tiba-tiba jadi Nero. ketika perbincangan Mayana dan Nero pun sedikit membingungkan, mungkin jika jenis fontnya dibedakan akan lebih cepet ngerti.
Jenis paragraf yang digunakan rata kiri dan kanan, menjadikan novel ini memiliki penampilan yang berbeda. Typo salah ketika saya temukan beberapa, hampir banyak.
Saya tidak terlalu faham dengan Endingnya, memang dibuat terbuka atau sebenarnya jelas namun tersamar.
Tapi secara keseluruhan, saya menyukai tema yang diangkat. dimana seseorang bisa jatuh cinta lewat dunia maya, memang debarannya jauh lebih dahsyat dari yang berjumpa dikehidupan nyata. meski ketika bertemu atau kopi darat---istilah zaman dulu untuk mereka yang suka ngobrol di interkom, sebelum adanya internet --- sedikit saja yang berhasil.
Namun pendalaman makna CINTA nya luar biasa dalam kalimat yang indah ini, memperlihatkan bahwa banyak referensi yag tidak singkat dan sederhana oleh mba Dian Nafi dan rekannya untuk menghadirkan novel ini.

Kamis, 13 Desember 2012

Mengemas kecewa

Jika baru saja mendapati bahwa diri saya gagal, gagal dan gagal lagi saya mudah sekali terpuruk. dan bangkitnya luar biasa susah. Ada kata pamungkas dari ibu saya, yang kemudian selalu bisa membangunkan saya meski perlahan. "makanya jangan pernah menggantungkan harapan sedikitpun sama yang namanya manusia!" kata-kata ibu saya selalu mendengung setiap kali saya bertemu kegagalan, terasa pedas dan 'nampol' memang tapi itu cukup bisa mencubit kedalaman batin saya.
Memang tidak terbantah Allah sanga Maha Cinta lah yang seharusnya kita jadiakan untuk menggantungkan segala asa, angan, mimpi bahkan igauan. tak ada lagi hanya Dia. tapi saya selalu memohon maaf kepada-Nya untuk menikmati rasa kecewa, yang wajar dan manusiawi. untuk kemudian meminta bantuannya dalam mengemas kecewa dan menyimpannya di rak sepatu terbawah sebagai tanda 'kegagalan' ini bukanlah apa-apa. kegagalan ini tidak akan mampu menghancurkan saya.

Kamis. 13 Desember 2012

Minggu, 12 Agustus 2012

Buka Bareng, Kehujanan Bareng

Hari ke 23 Ramadhan TK tempat anak saya sekolah mengadakan buka bersama, padahal anak-anaknya enggak shaum, emak-emaknya aja yang rempong.
Buka shaum dimanapun tetap sama, selayaknya makan dimanapun tetap sama menggunakan tangan masuk ke mulut. asal sehat pasti nikmat. Tetapi selalu ada kenikmatan yang sulit diurai ketika azan berkumandang, anak-anak dan ibu-ibu berkrasak krusuk (buka kresek es buah) dan slurup. puluhan desahan achhh...melepaskan dahaga, dilangit-langit sekolah terkumpul do'a-do'a pengantar buka. 

Teras sekolah tak beratap dijadikan tempat untuk buka shaum, dalam penantian detik-detik berbuka byurrr....turun hujan. semua yang hadir kocar kacir, menyelamatkan diri sendiri. (itu baru turun hujan, apalagi turun meteor?? itu baru di dunia, apalagi diakherat nanti. ibu tidak bisa menolong anaknya, anak tidak bisa menolong ibunya. semua sibuk dengan urusan masing-masing)

Yupp, selamat berbuka, panjatkan do'a sebanyak-banyaknya. dua moment yang mustajab, berdo'a ketika buka puasa dalam keadaan hujan pula. kehujanan bareng-bareng pula.


Minggu, 05 Agustus 2012

Menjadi Ibu Belajar Sepanjang Jalan


Menjadi ibu adalah karier tanpa batas pensiun, “everlasting career” selamanya mereka adalah anak-anak kita, dan selamanya kita adalah ibu bagi mereka. Tanpa persiapan sekalipun setiap wanita hamil yang kemudian melahirkan harus terjun bebas, dituntut untuk bisa menjadi seorang ibu, apa yang membuat kita bisa mengurus anak pertama tanpa pengalaman? tentu saja naluri. Tapi ternyata kita tidak hanya membutuhkan naluri saja tapi juga ilmu, ilmu bagaimana menahan sabar, ilmu bagaimana menundukan ego kita demi kesejahtraan mereka, ilmu bagaimana menjadi ibu yang akan mereka kenang sebagai ibu terbaik yang mereka miliki kelak.
            “Tidak ada yang mengenal seorang anak selain ibunya sendiri” entah kalimat itu saya baca di mana dan akhirnya membuat saya tertegun “sudahkah saya mengenal anak-anak saya secara keseluruhan, tentang keinginannya tantang kemarahannya? Sudahkah saya mengenal sisi terdalam putra putri saya? Ataukah saya hanya mengenal cangkang mereka saja?” saya tatap satu persatu anak-anak saya yang sedang terlelap dan saya bisikan “sungguh bunda mencintai kalian luar dan dalam”. Terbayang sudah keributan-keributan yang sering terjadi diantara saya dan anak-anak, tentang waktu mandi yang seringkali mereka tolak karena masih asyik bermain. Tentang tawar menawar waktu belajar dan tentang banyak hal kecil yang sering jadi bahan keributan. Bagaimana jika pengalaman itulah yang menempel di memori mereka, yang akan menguntit mereka hingga dewasa. Hingga anak-anak akan mengingat saya sebagai ibu yang otoriter, nauzubillah.
            Dengan penuh keyakinan saya tanamkan dalam hati, masih banyak waktu untuk merubah diri, untuk memperbaiki diri, untuk belajar dari pengalaman dan dari orang-orang yang berilmu. Jangan hanya mengajak anak untuk belajar, tapi saya juga harus banyak belajar. Jangan hanya menyemangati anak-anak untuk maju, tapi saya juga harus mau maju bersama mereka. lagi-lagi ilmu menjadi ibu dibutuhkan dalam hal ini.
            Dalam perenungan singkat ini yang saya impikan adalah anak-anak yang selalu berada di jalur yang benar, meskipun mereka menemukan kondisi yang berbeda dengan kondisi yang berada di dalam rumah mereka. Bagaimana mereka tetap bisa menjaga shalat mereka meskipun tidak ada yang mengingatkan, bagaimana mereka tetap bicara yang baik meskipun saya tidak ada dihadapannya, bagaimana saya bisa menjadi sahabat dengan telinga yang selalu setia mendengar kisah-kisah seru hidupnya. Bagaimana saya selalu dijadikan mentor tempat mereka bertanya tentang apapun masalah mereka. Semoga Allah SWT memperkenankan.
            Anak bisa menjadi anugerah bahkan bisa menjadi ujian. Seorang anak penghafal Al-qur’an bisa menghadiahkan baju kemulian bagi orangtuanya di surga kelak. Demikian juga sebaliknya, orang tua yang sholeh bisa saja masuk neraka jika kesaksian anak mereka menyatakan bahwa sang anak tidak pernah diajarkan tentang agama, sungguh malu bukan kita di hadapan Allah?. Maka memberikan yang terbaik sepenuh kemampuan kita adalah yang utama, berusaha menghidangkan makanan terbaik untuk anak-anak kita, berusaha menyekolahkan anak-anak di sekolah terbaik berdasarkan kemampuan kita yang sesuai dengan visi misi hidup kita. Untuk kesemuanya itu kita harus mengorbankan banyak materi, sungguh TIDAK APA-APA. Semuanya kita lakukan tidak lebih hanya agar anak-anak kita jasmani dan ruhaninya bisa bermanfaat bagi banyak orang, dan mereka beriman dengan cara yang benar. Juga agar kita kelak jika dipanggil oleh Yanga Maha Kuasa, kita sanggup berdiri di atas kaki kita dengan percaya diri, bahwa kita sudah merawat dan mendidik anak-anak kita yang tidak lain adalah amanah dari-Nya dengan kemampuan terbaik kita, dengan usaha maksimal.
Kata Khalil Gibran “anakmu bukan anakmu, anakmu adalah milik zamannya”. Bisa “iya” bisa “tidak”. Saya selalu diingatkan oleh ibu saya bahwa jangan terlalu keras dalam mendidik anak, “toh dulu juga kamu dibiarkan tanpa diajarkan tetap aja bisa baca, bisa ngaji dan lain sebagainya”. Ibu saya lupa dulu saya bisa baca kelas 2 SD dan bisa ngaji dengan lancar kelas 4 SD. Anak zaman sekarang, umur 5 tahun atau kelas TK B hampir rata-rata sudah bisa baca, diajarkan mengaji sudah sejak usia 4 atau 5 tahun. Kenapa harus lebih cepat dari zaman dulu? Karena kini gempuran informasi dan teknologi sudah semakin mengganas. Manfaatnya bisa kita rasakan tetapi juga dampak buruknya mengerikan, seperti kanker yang menggerogoti. Bagaimana Blackberry bisa dimiliki anak-anak usia SD dan mereka bisa mengakses informasi apa saja tanpa saringan. Jika mentah-mentah mengadopsi kalimat Khalil Gibran, memberikan anak-anak kita kepada zamannya. Maka sikap terhadap anak yang serba boleh, kendali yang sangat longgar, yang akan terjadi sudah bisa diterka, anak akan hidup semaunya tanpa aturan yang jelas tanpa tujuan hidup yang pasti. Waktu kebersamaan kita dengan anak-anak kita sangat singkat, lebih dari usia 9 tahun anak-anak telah bertransformasi menjadi manusia seutuhnya dengan kehendak dan keinginannya sendiri, dalam waktu yang singkat itulah kita bisa menanamkan pondasi agar anak kita bisa menjadi manusia yang kokoh tidak tergerus arus zaman yang buruk. Selagi masih ada waktu dan kesempatan kita tempatkan diri kita sebagai pintu masuk informasi yang mereka terima, menjadi tauladan bagi aturan-aturan hidup yang akan mereka jalani selamanya. Mempersiapkan mereka untuk menyambut zamannya nanti yang entah akan seperti apa. Untuk melanjutkan peradaban manusia yang lebih baik. Wallahua’lam.