Minggu, 05 Agustus 2012

Menjadi Ibu Belajar Sepanjang Jalan


Menjadi ibu adalah karier tanpa batas pensiun, “everlasting career” selamanya mereka adalah anak-anak kita, dan selamanya kita adalah ibu bagi mereka. Tanpa persiapan sekalipun setiap wanita hamil yang kemudian melahirkan harus terjun bebas, dituntut untuk bisa menjadi seorang ibu, apa yang membuat kita bisa mengurus anak pertama tanpa pengalaman? tentu saja naluri. Tapi ternyata kita tidak hanya membutuhkan naluri saja tapi juga ilmu, ilmu bagaimana menahan sabar, ilmu bagaimana menundukan ego kita demi kesejahtraan mereka, ilmu bagaimana menjadi ibu yang akan mereka kenang sebagai ibu terbaik yang mereka miliki kelak.
            “Tidak ada yang mengenal seorang anak selain ibunya sendiri” entah kalimat itu saya baca di mana dan akhirnya membuat saya tertegun “sudahkah saya mengenal anak-anak saya secara keseluruhan, tentang keinginannya tantang kemarahannya? Sudahkah saya mengenal sisi terdalam putra putri saya? Ataukah saya hanya mengenal cangkang mereka saja?” saya tatap satu persatu anak-anak saya yang sedang terlelap dan saya bisikan “sungguh bunda mencintai kalian luar dan dalam”. Terbayang sudah keributan-keributan yang sering terjadi diantara saya dan anak-anak, tentang waktu mandi yang seringkali mereka tolak karena masih asyik bermain. Tentang tawar menawar waktu belajar dan tentang banyak hal kecil yang sering jadi bahan keributan. Bagaimana jika pengalaman itulah yang menempel di memori mereka, yang akan menguntit mereka hingga dewasa. Hingga anak-anak akan mengingat saya sebagai ibu yang otoriter, nauzubillah.
            Dengan penuh keyakinan saya tanamkan dalam hati, masih banyak waktu untuk merubah diri, untuk memperbaiki diri, untuk belajar dari pengalaman dan dari orang-orang yang berilmu. Jangan hanya mengajak anak untuk belajar, tapi saya juga harus banyak belajar. Jangan hanya menyemangati anak-anak untuk maju, tapi saya juga harus mau maju bersama mereka. lagi-lagi ilmu menjadi ibu dibutuhkan dalam hal ini.
            Dalam perenungan singkat ini yang saya impikan adalah anak-anak yang selalu berada di jalur yang benar, meskipun mereka menemukan kondisi yang berbeda dengan kondisi yang berada di dalam rumah mereka. Bagaimana mereka tetap bisa menjaga shalat mereka meskipun tidak ada yang mengingatkan, bagaimana mereka tetap bicara yang baik meskipun saya tidak ada dihadapannya, bagaimana saya bisa menjadi sahabat dengan telinga yang selalu setia mendengar kisah-kisah seru hidupnya. Bagaimana saya selalu dijadikan mentor tempat mereka bertanya tentang apapun masalah mereka. Semoga Allah SWT memperkenankan.
            Anak bisa menjadi anugerah bahkan bisa menjadi ujian. Seorang anak penghafal Al-qur’an bisa menghadiahkan baju kemulian bagi orangtuanya di surga kelak. Demikian juga sebaliknya, orang tua yang sholeh bisa saja masuk neraka jika kesaksian anak mereka menyatakan bahwa sang anak tidak pernah diajarkan tentang agama, sungguh malu bukan kita di hadapan Allah?. Maka memberikan yang terbaik sepenuh kemampuan kita adalah yang utama, berusaha menghidangkan makanan terbaik untuk anak-anak kita, berusaha menyekolahkan anak-anak di sekolah terbaik berdasarkan kemampuan kita yang sesuai dengan visi misi hidup kita. Untuk kesemuanya itu kita harus mengorbankan banyak materi, sungguh TIDAK APA-APA. Semuanya kita lakukan tidak lebih hanya agar anak-anak kita jasmani dan ruhaninya bisa bermanfaat bagi banyak orang, dan mereka beriman dengan cara yang benar. Juga agar kita kelak jika dipanggil oleh Yanga Maha Kuasa, kita sanggup berdiri di atas kaki kita dengan percaya diri, bahwa kita sudah merawat dan mendidik anak-anak kita yang tidak lain adalah amanah dari-Nya dengan kemampuan terbaik kita, dengan usaha maksimal.
Kata Khalil Gibran “anakmu bukan anakmu, anakmu adalah milik zamannya”. Bisa “iya” bisa “tidak”. Saya selalu diingatkan oleh ibu saya bahwa jangan terlalu keras dalam mendidik anak, “toh dulu juga kamu dibiarkan tanpa diajarkan tetap aja bisa baca, bisa ngaji dan lain sebagainya”. Ibu saya lupa dulu saya bisa baca kelas 2 SD dan bisa ngaji dengan lancar kelas 4 SD. Anak zaman sekarang, umur 5 tahun atau kelas TK B hampir rata-rata sudah bisa baca, diajarkan mengaji sudah sejak usia 4 atau 5 tahun. Kenapa harus lebih cepat dari zaman dulu? Karena kini gempuran informasi dan teknologi sudah semakin mengganas. Manfaatnya bisa kita rasakan tetapi juga dampak buruknya mengerikan, seperti kanker yang menggerogoti. Bagaimana Blackberry bisa dimiliki anak-anak usia SD dan mereka bisa mengakses informasi apa saja tanpa saringan. Jika mentah-mentah mengadopsi kalimat Khalil Gibran, memberikan anak-anak kita kepada zamannya. Maka sikap terhadap anak yang serba boleh, kendali yang sangat longgar, yang akan terjadi sudah bisa diterka, anak akan hidup semaunya tanpa aturan yang jelas tanpa tujuan hidup yang pasti. Waktu kebersamaan kita dengan anak-anak kita sangat singkat, lebih dari usia 9 tahun anak-anak telah bertransformasi menjadi manusia seutuhnya dengan kehendak dan keinginannya sendiri, dalam waktu yang singkat itulah kita bisa menanamkan pondasi agar anak kita bisa menjadi manusia yang kokoh tidak tergerus arus zaman yang buruk. Selagi masih ada waktu dan kesempatan kita tempatkan diri kita sebagai pintu masuk informasi yang mereka terima, menjadi tauladan bagi aturan-aturan hidup yang akan mereka jalani selamanya. Mempersiapkan mereka untuk menyambut zamannya nanti yang entah akan seperti apa. Untuk melanjutkan peradaban manusia yang lebih baik. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar