Menjadi
ibu adalah karier tanpa batas pensiun, “everlasting
career” selamanya mereka adalah anak-anak kita, dan selamanya kita adalah
ibu bagi mereka. Tanpa persiapan sekalipun setiap wanita hamil yang kemudian
melahirkan harus terjun bebas, dituntut untuk bisa menjadi seorang ibu, apa
yang membuat kita bisa mengurus anak pertama tanpa pengalaman? tentu saja
naluri. Tapi ternyata kita tidak hanya membutuhkan naluri saja tapi juga ilmu,
ilmu bagaimana menahan sabar, ilmu bagaimana menundukan ego kita demi
kesejahtraan mereka, ilmu bagaimana menjadi ibu yang akan mereka kenang sebagai
ibu terbaik yang mereka miliki kelak.
“Tidak ada yang mengenal seorang
anak selain ibunya sendiri” entah kalimat itu saya baca di mana dan akhirnya membuat
saya tertegun “sudahkah saya mengenal anak-anak saya secara keseluruhan,
tentang keinginannya tantang kemarahannya? Sudahkah saya mengenal sisi terdalam
putra putri saya? Ataukah saya hanya mengenal cangkang mereka saja?” saya tatap
satu persatu anak-anak saya yang sedang terlelap dan saya bisikan “sungguh
bunda mencintai kalian luar dan dalam”. Terbayang sudah keributan-keributan
yang sering terjadi diantara saya dan anak-anak, tentang waktu mandi yang
seringkali mereka tolak karena masih asyik bermain. Tentang tawar menawar waktu
belajar dan tentang banyak hal kecil yang sering jadi bahan keributan.
Bagaimana jika pengalaman itulah yang menempel di memori mereka, yang akan
menguntit mereka hingga dewasa. Hingga anak-anak akan mengingat saya sebagai
ibu yang otoriter, nauzubillah.
Dengan penuh keyakinan saya tanamkan
dalam hati, masih banyak waktu untuk merubah diri, untuk memperbaiki diri,
untuk belajar dari pengalaman dan dari orang-orang yang berilmu. Jangan hanya
mengajak anak untuk belajar, tapi saya juga harus banyak belajar. Jangan hanya
menyemangati anak-anak untuk maju, tapi saya juga harus mau maju bersama
mereka. lagi-lagi ilmu menjadi ibu dibutuhkan dalam hal ini.
Dalam perenungan singkat ini yang
saya impikan adalah anak-anak yang selalu berada di jalur yang benar, meskipun
mereka menemukan kondisi yang berbeda dengan kondisi yang berada di dalam rumah
mereka. Bagaimana mereka tetap bisa menjaga shalat mereka meskipun tidak ada
yang mengingatkan, bagaimana mereka tetap bicara yang baik meskipun saya tidak
ada dihadapannya, bagaimana saya bisa menjadi sahabat dengan telinga yang
selalu setia mendengar kisah-kisah seru hidupnya. Bagaimana saya selalu
dijadikan mentor tempat mereka bertanya tentang apapun masalah mereka. Semoga
Allah SWT memperkenankan.
Anak bisa menjadi anugerah bahkan
bisa menjadi ujian. Seorang anak penghafal Al-qur’an bisa menghadiahkan baju
kemulian bagi orangtuanya di surga kelak. Demikian juga sebaliknya, orang tua
yang sholeh bisa saja masuk neraka jika kesaksian anak mereka menyatakan bahwa
sang anak tidak pernah diajarkan tentang agama, sungguh malu bukan kita di
hadapan Allah?. Maka memberikan yang terbaik sepenuh kemampuan kita adalah yang
utama, berusaha menghidangkan makanan terbaik untuk anak-anak kita, berusaha
menyekolahkan anak-anak di sekolah terbaik berdasarkan kemampuan kita yang
sesuai dengan visi misi hidup kita. Untuk kesemuanya itu kita harus
mengorbankan banyak materi, sungguh TIDAK APA-APA. Semuanya kita lakukan tidak
lebih hanya agar anak-anak kita jasmani dan ruhaninya bisa bermanfaat bagi
banyak orang, dan mereka beriman dengan cara yang benar. Juga agar kita kelak
jika dipanggil oleh Yanga Maha Kuasa, kita sanggup berdiri di atas kaki kita
dengan percaya diri, bahwa kita sudah merawat dan mendidik anak-anak kita yang
tidak lain adalah amanah dari-Nya dengan kemampuan terbaik kita, dengan usaha
maksimal.
Kata
Khalil Gibran “anakmu bukan anakmu, anakmu adalah milik zamannya”. Bisa “iya”
bisa “tidak”. Saya selalu diingatkan oleh ibu saya bahwa jangan terlalu keras
dalam mendidik anak, “toh dulu juga kamu dibiarkan tanpa diajarkan tetap aja
bisa baca, bisa ngaji dan lain sebagainya”. Ibu saya lupa dulu saya bisa baca
kelas 2 SD dan bisa ngaji dengan lancar kelas 4 SD. Anak zaman sekarang, umur 5
tahun atau kelas TK B hampir rata-rata sudah bisa baca, diajarkan mengaji sudah
sejak usia 4 atau 5 tahun. Kenapa harus lebih cepat dari zaman dulu? Karena kini
gempuran informasi dan teknologi sudah semakin mengganas. Manfaatnya bisa kita
rasakan tetapi juga dampak buruknya mengerikan, seperti kanker yang
menggerogoti. Bagaimana Blackberry bisa dimiliki anak-anak usia SD dan mereka
bisa mengakses informasi apa saja tanpa saringan. Jika mentah-mentah mengadopsi
kalimat Khalil Gibran, memberikan anak-anak kita kepada zamannya. Maka sikap
terhadap anak yang serba boleh, kendali yang sangat longgar, yang akan terjadi
sudah bisa diterka, anak akan hidup semaunya tanpa aturan yang jelas tanpa
tujuan hidup yang pasti. Waktu kebersamaan kita dengan anak-anak kita sangat
singkat, lebih dari usia 9 tahun anak-anak telah bertransformasi menjadi
manusia seutuhnya dengan kehendak dan keinginannya sendiri, dalam waktu yang
singkat itulah kita bisa menanamkan pondasi agar anak kita bisa menjadi manusia
yang kokoh tidak tergerus arus zaman yang buruk. Selagi masih ada waktu dan
kesempatan kita tempatkan diri kita sebagai pintu masuk informasi yang mereka terima,
menjadi tauladan bagi aturan-aturan hidup yang akan mereka jalani selamanya. Mempersiapkan
mereka untuk menyambut zamannya nanti yang entah akan seperti apa. Untuk
melanjutkan peradaban manusia yang lebih baik. Wallahua’lam.